Harga tiket pesawat yang tak kunjung turun pasca keluarnya Keputusan Menhub No 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri yang ditandatangani Rabu, 15 Mei 2019 jelang mudik lebaran 2019 menjadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan pengguna internet (Warganet) di media sosial.
Tangkapan layar hasil pencarian di Online Travel Agent (OTA) menjadi perbincangan yang hangat karena perbedaan antara tiket pesawat dengan tujuan domestik dan internasional sangat jomplang.
Misalnya, ada harga tiket pesawat kelas bisnis dari Bandung ke Medan yang mencapai Rp 21,92 juta dari Garuda Indonesia atau penjualan tiket rute Jakarta-Pekanbaru Lion Air mencapai Rp 6,6 juta.
Diskusi menjadi hangat karena Kementrian Perhubungan (Kemenhub) optimis pasca penyesuaian aturan Tarif Batas Atas (TBA) pada Sabtu (18/5) bisa terjadi penurunan tarif berkisar antara 12%-16%.
Klarifikasi Maskapai
Corporate Communications Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro dalam keterangannya (29/5) menyatakan harga jual tiket yang ramai diperbincangkan di media sosial itu memiliki komposisi dua sektor, sebagai berikut:
1. Batik Air kelas bisnis – Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang (CGK) ke Bandar Udara Internasional Kualanamu, Sumatera Utara (KNO) Rp 5.656.000
2. Lion Air kelas ekonomi – Bandar Udara Internasional Kualanamu ke Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru (PKU) Rp 955.300.
"Lion Air tidak menjual yang melebihi batas atas/ maksimum atau menjual masih berada di bawah koridor tarif batas atas” layanan kelas ekonomi domestik. Besaran tarif tiket (harga jual) yang dijalankan telah sesuai aturan regulator," katanya.
VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan mengatakan harga tiket yang ramai diperbincangkan itu bukan merupakan penerbangan langsung.
"Bukan penerbangan langsung, tapi melibatkan banyak kota sebagai transit, yaitu Bandung - Denpasar - Jakarta - Kualanamu dan memutar jauh sehingga harganya menjadi mahal," ujar Ikhsan.
Awasi OTA?
Hal yang menarik adalah pernyataan yang dikeluarkan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Polana B. Pramesti yang meminta maskapai untuk mengingatkan dan menegur mitra penjual/agen untuk tidak menampilkan harga yang tidak masuk akal karena penerbangan harus melalui beberapa kali transit.
“Karena yang muncul di layar aplikasi konsumen, harga tiket jadi tidak masuk akal. Kalau maskapai tidak diingatkan untuk menegur mitra mereka, ini akan merugikan reputasi maskapai sendiri, sekaligus membuat calon penumpang menjerit,” ujar Polana.
Pernyataan ini tentunya merujuk kepada pemain Online Travel Agent (OTA). Dalam tangkapan layar yang banyak dijadikan "Meme" oleh warganet memang terlihat hasil pencarian tiket berasal dari Traveloka dan Tiket.com. (
Baca: Tiket Mahal)
Salahkah OTA menyajikan harga tiket yang menjadi kontroversi itu? Tergantung, mengingat platform aplikasi penjualan tiket menawarkan pilihan sesuai dengan rute dan tanggal yang sudah dipilih oleh konsumen atau calon penumpang. Setelah calon penumpang memilih rute dan tanggal, mesin aplikasi akan mencarikan semua jadwal penerbangan yang tersedia untuk rute tersebut pada tanggal yang telah dipilih.
Aplikasi kemudian akan memfilter jadwal yang masih tersedia, lalu menampilkannya di layar aplikasi pelanggan. Di layar, pelanggan bisa mengurutkan berdasarkan harga yang ditawarkan, termasuk memfilter jenis-jenis maskapai tertentu.
Karena berbasis mesin algoritma, maka aplikasi akan menyediakan semua pilihan yang tersedia, termasuk apabila rute penerbangannya harus transit melalui bandara-bandara tertentu. Pada musim-musim ramai seperti liburan Lebaran, penerbangan langsung untuk tanggal-tanggal favorit biasanya sudah tidak tersedia. Calon penumpang yang membeli di waktu yang mepet dengan tanggal keberangkatan, akan disodori pilihan penerbangan yang masih tersisa, termasuk apabila harus transit.
Pencarian rute yang dipilih calon konsumen tentu saja menggunakan mesin. Mesin akan memasukkan harga tiket sesuai dengan rute penerbangan yang masih tersedia, sehingga apabila diakumulasi harganya menjadi berlipat-lipat dibandingkan dengan penerbangan langsung.
Dalam peraturan di industri penerbangan, penumpang akan dibebani biaya tambahan seperti pajak iuran wajib asuransi, dan Passanger service charge (PSC) untuk penerbangan ke setiap titik. Apabila rute yang dipilih konsumen harus transit di 2 bandara, maka ia akan dikenai tambahan biaya sebanyak 3 kali, yakni biaya di bandara keberangkatan dan dua bandara transit.
Lalu, bagaimana mungkin rute Jakarta-Makassar ditawarkan harus transit ke Jayapura terlebih dahulu? Atau untuk terbang dari Bandung ke Medan, calon penumpang harus terbang ke Denpasar terlebih dahulu?
Karena berdasarkan mesin yang ada dalam aplikasi layanan online, penerbangan untuk jadwal yang dipilih calon penumpang pada tanggal tersebut, tinggal itulah satu-satunya pilihan yang tersedia, sedangkan pilihan penerbangan yang langsung sudah diambil oleh penumpang lain jauh-jauh hari sebelumnya.
Dengan cara bekerja mesin layanan seperti itu, maka aplikasi akan memunculkan semua kemungkinan yang masih tersedia untuk jadwal penerbangan yang diinginkan konsumen, sehingga mengakibatkan harganya menjadi tidak masuk akal, karena diakumulasi dari setiap penerbangan dari titik keberangkatan ke titik transit pertama, transit kedua, dan seterusnya, sampai dengan titik akhir penerbangan.
Perlu Aturan
Lantas apa hikmah dari semua ini? Sepertinya perlu adanya aturan main yang jelas bagi Online Travel Agent agar tak muncul angin topan di bisnis aviasi karena digitalisasi.
Merujuk bisnis ride-hailing yang dilakukan GOJEK dan Grab, para pemain seperti Traveloka atau Tiket.com tak bisa lagi dibiarkan terus mengembangkan model bisnis tanpa ada aturan yang jelas.
Jika dikilas balik, GOJEK dan Grab ketika muncul pertama kali seperti tak tersentuh regulasi dengan alasan teknologi tak bisa dilawan. Namun, sejarah membuktikan regulasi tetap dibutuhkan untuk kepastian hukum bagi semua ekosistem yang terlibat di bisnis ride-hailing dan kompetitornya.
Regulasi yang komprehensif melibatkan Kementrian Pariwisata, Kementrian Perhubungan, Kementrian Komunikasi dan Informatika, serta Kementrian Perdagangan bagi OTA tak bisa ditunda lagi.
Data ShopBack, menyatakan volume pemesanan online travel menunjukan pertumbuhan yang luar biasa di tahun 2018, dengan peningkatan hingga 260%.
Laporan yang dikeluarkan Google dan Temasek dalam "e-Conomy SEA 2018 Southeast Asia’s internet economy" menyatakan bisnis online travel Indonesia memiliki nilai US$8,6 miliar (2018) dan menjadi US$25 miliar pada (2025).
Sebuah nilai yang besar sehingga wajar dibutuhkan regulasi yang jelas agar menguntungkan semua pihak
@IndoTelko