Pertemuan KTT G20 di Osaka, Jepang, telah usai digelar minggu lalu.
Sebuah dokumen deklarasi pun disetujui oleh para pemimpin dunia. Dokumen itu berjudul Deklarasi Osaka atau Osaka Track.
Dokumen itu berisi 43 poin seperti perkembangan ekonomi, teknologi, infrastruktur, kesehatan global, kesetaraan, turisme, illegal fishing, perubahan iklim, tenaga kerja, dan anti-korupsi.
Tiga poin pembuka (preamble) dalam deklarasi tersebut seperti dikutip dari situs resmi KTT G20:
1. Kami, pemimpin G20, di Jepang pada 28-29 Juni 2019, membuat usaha persatuan dalam menghadapi tantangan-tantangan ekonomi global yang besar. Kami akan bekerja sama untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dunia, serta memperkuat daya inovasi teknologi, terutama digitalisasi, dan penerapannya yang menguntungkan semua orang.
2. Membangun terus pekerjaan yang diselesaikan kepresidenan sebelumnya, kami akan membuat lingkaran kebajikan dalam hal pertumbuhan dengan cara menghadapi ketidaksetaraan dan menghasilkan masyarakat di mana semua individu dapat menggunakan potensi mereka sepenuhnya. Kami bertekad membangun masyarakat yang mampu meraih berbagai peluang, dan menangkal tantangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang ada di hari ini dan masa depan, termasuk perubahan demografis.
3. Kami akan meneruskan usaha-usaha untuk menunjang pembangunan dan menghadapi tantangan-tantangan global demi membuat jalan menuju dunia yang inklusif dan berkelanjutan, sebagaimana tujuan di Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dalam pertemuan ini salah satu yang dibahas tentang digitalisasi yang tengah terjadi pun tak boleh melupakan privasi, proteksi data, hak kekayaan intelektual, dan keamanan. Itu dinilai penting demi mendapat kepercayaan konsumen dan bisnis.
Demi meraih hal ini, diperlukan adanya kerangka hukum internasional. Penggunaan data yang baik dipandang sebagai kunci untuk menunjuang ekonomi, pertumbuhan, dan kesejahteraan sosial.
Boikot
Situs Livemint pada 30 Juni 2019 menurunkan artikel dengan judul "India boycotts ‘Osaka Track’ at G20 summit".
Dalam artikel itu disebutkan India, Afrika Selatan dan Indonesia memilih untuk tidak menandatangani deklarasi Osaka karena bisa merusak prinsip-prinsip inti World Trade Organization (WTO) khususnya terkait isu ekonomi digital karena secara terang-terangan merusak prinsip "multilateral" dari keputusan berdasarkan konsensus dalam negosiasi perdagangan global, dan mengurangi ruang regulasi untuk industrialisasi digital di negara-negara berkembang.
Jepang kabarnya berusaha menggolkan mengenai perdagangan digital untuk meminta persetujuan bagi deklarasi Osaka untuk mempromosikan negosiasi purlilateral antara 50 negara.
Bersama dengan Amerika Serikat, Uni Eropa (yang mewakili 28 negara di WTO), Australia, dan Singapura, Jepang mendorong untuk negosiasi plurilateral tentang perdagangan digital dengan niat untuk menyusun aturan sweeping tentang aliran data, penghapusan larangan lokalisasi data, dan cloud computing.
Banyak aturan plurilateral yang diusulkan tentang perdagangan digital didasarkan pada Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPATPP).
Kabarnya, India, Afrika Selatan, Indonesia, dan sebagian besar negara berkembang secara konsisten menuntut agar negosiasi tentang perdagangan elektronik atau digital harus dilakukan berdasarkan program kerja tahun 1998.
India, Afrika Selatan, dan Indonesia menentang negosiasi plurilateral tentang perdagangan digital dengan mengatakan prinsip itu berlawanan dengan proses negosiasi multilateral berdasarkan pada pengambilan keputusan berdasarkan konsensus.
Sebelumnya, dalam Pertemuan Menteri Perdagangan dan Menteri Digital Negara G20, Indonesia mengusulkan soal pelaksanaan pertukaran data harus dilakukan secara inklusif dan bersyarat dimana harus memperhatikan aspek-aspek antara lain, masalah privasi, perlindungan data, intellectual property right and security.
Lebih jauh harus juga memperhatikan/menghormati legal frameworks, baik dalam negara anggota G20 maupun secara internasional dan harus hati-hati dalam memisahkan antara data pribadi dengan nonpribadi.
Simalakama
Seperti diketahui, Indonesia tengah menyusun Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi dan tengah merevisi aturan tentang pengelolaan data yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah no. 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Di dalam draf terbarunya, dinyatakan kategori Penyelenggara Sistem Elektronik yang terdiri dari Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik dan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Dalam bagian Umum huruf j draf terbaru revisi PP No. 82/2012, tertulis tentang pengaturan mengenai penempatan Sistem Elektronik dan Data Elektronik bagi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik dan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Di bagian Penjelasan Pasal 2 Ayat 3 huruf b, disinggung tentang wilayah penempatan data yang berbunyi Penyelenggara Sistem Elektronik meliputi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik; dan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, yang Sistem Elektroniknya dipergunakan di wilayah Indonesia dan/atau ditawarkan di wilayah Indonesia.
Dalam draf sebelumnya, disebutkan terdapat tiga kategori data elektronik; pertama, data elektronik strategis; kedua, data elektronik tinggi; dan ketiga, data elektronik rendah.
Data elektronik strategis merupakan satu-satunya kategori data yang wajib dikelola, diproses, dan disimpan di dalam negeri serta menggunakan jaringan dan sistem elektronik Indonesia. Data elektronik strategis juga dilarang dikirim, dipertukarkan dan/atau disalin ke luar wilayah Indonesia.
Langkah Indonesia tak ikut menandatangani Deklarasi Osaka seperti buah simalakama.
Di satu sisi banyak yang mempertanyakan komitmen Indonesia soal transparansi dan terkesan tak siap dengan era globalisasi.
Di sisi lainnya banyak yang mendukung langkah pemerintah karena data di era liberalisasi merupakan komoditas baru yang diibaratkan ladang minyak berharga di era digital.
Sudah saatnya sekarang pemerintah secepatnya membuat aturan tentang data yang mewajibkan pemrosesan data harus di dalam negeri, kewajiban mendapatkan ijin pemilik data pribadi, kewajiban pengamanan data, pembatasan penyimpanan data dan lainnya agar kedaulatan negara tetap terjaga di era digital.
Undang-Undang Perlindungan Data yang melindungi kedaulatan nasional adalah hal mutlak untuk dimiliki secepatnya.
@IndoTelko