Pemerintah akhirnya tetap memberlakukan peraturan pembatasan perangkat telekomunikasi ilegal melalui identifikasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) mulai 18 April mendatang.
Penerapan aturan ini melibatkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Kominfo.
Setelah 18 April 2020, hanya perangkat telepon seluler (Ponsel), komputer genggam, dan tablet dengan IMEI terdaftar, yang bisa mendapat jaringan atau sinyal di wilayah Indonesia.
Aturan ini juga berlaku terhadap ponsel, komputer genggam dan tablet yang dibawa atau dipesan dari luar negeri.
Pemerintah memilih skema Whitelist untuk menerapkan pemblokiran IMEI. Dalam sistem preventif (whitelist) apabila ponsel yang akan dibeli masyarakat tidak mengeluarkan sinyal maka masyarakat jangan membelinya karena perangkat telekomunikasi tersebut merupakan perangkat ilegal. Dengan cara ini maka tidak akan ada masyarakat yang dirugikan akibat diblokir perangkatnya setelah membayar ponsel yang dibelinya.
Pemiliknya wajib mendaftarkan IMEI perangkat gadget itu, melalui sistem aplikasi yang akan disiapkan pemerintah, agar dapat mengakses sinyal di Indonesia.
Namun, ada ketentuan khusus terkait pendaftaran IMEI gadget dari luar negeri yang seharga di atas US$500(Rp7,1 juta).
Pendaftaran IMEI gadget seharga di atas Rp7,1 juta yang dibawa atau dipesan dari luar negeri setelah 18 April 2020, akan dikenakan pajak terkait impor.
Adapun mekanismenya ialah konsumen yang membeli atau memesan gadget dari luar negeri harus membayar pajak pembelian barang impor di daerah pabean, baik pelabuhan maupun bandara lebih dulu sebelum mendaftarkan IMEI.
Setelah itu, mereka dapat mendaftarkan IMEI gadget ke sistem pendeteksi IMEI bernama SIBINA yang saat ini dalam tahap uji coba. Selain itu, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, bakal membatasi gadget dari luar negeri yang bisa didaftarkan IMEI-nya maksimal dua perangkat per orang.
Jika konsumen membeli atau membawa gadget dari luar negeri, tetapi tidak membayar pajak, perangkat itu tidak akan mendapat sinyal dari operator.
Sementara bagi konsumen yang membeli gadget di dalam negeri, mereka pun harus memastikan legalitas perangkat dengan mengecek IMEI-nya di situs imei.kemenperin.go.id. Perangkat yang sudah aktif sebelum masa berlaku 18 April 2020 akan tetap dapat tersambung ke jaringan bergerak seluler sampai perangkat itu tidak digunakan lagi atau telah rusak.
Keputusan lain terkait rencana identifikasi IMEI adalah operator seluler sepakat untuk berinvestasi dengan mengadakan perangkat equipment identity registered (EIR) guna mendukung kebijakan tersebut.
Tahun lalu Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) meminta beban investasi yang serendah-rendahnya bagi operator seluler.
ATSI sempat mempermasalahkan harga alat pengendalian IMEI yang nilainya dikatakan mencapai US$ 40 juta. Namun demikian, berdasarkan informasi yang diterima Kementerian Perindustrian, harga alat pengendalian IMEI tersebut beragam dan jauh di bawah US$ 40 juta.
Pemerintah tidak menyiapkan insentif apa pun bagi operator untuk mengadakan perangkat tersebut.
Keputusan sudah diambil, selesaikah permasalahan?
Tentunya belum. Pemerintah masih punya pekerjaan rumah dengan melakukan upaya penegakan hukum dari sisi hulu, khususnya praktik impor ilegal yang masuk secara gelap ke pasaran Indonesia. Sebab maraknya distribusi ponsel ilegal, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam upaya penegakan hukum.
Langkah memblokir IMEI ponsel bisa dikatakan hanyalah aksi disisi hilir dimana korban yang paling menderita adalah pengguna.
Pekerjaan lainnya adalah pemerintah harus mulai memberikan literasi yang lebih masif ke masyarakat jelang 18 April mendatang. Kisah heboh dan maraknya hoaks kala penerapan registrasi prabayar berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) beberapa tahun lalu sebaiknya tak terulang lagi.
Terakhir, dipastikan 2020 adalah tahun yang makin berat bagi operator seluler untuk mengakuisisi pelanggan baru dan sepertinya bisnis Halo-halo akan "mendung" hingga akhir tahun.
@IndoTelko