Aktris Tara Basro membuat kehebohan di dunia maya melalui postingan di akun media sosial miliknya.
Dalam unggahan di akun media sosialnya, (3/3), Tara memamerkan dua fotonya sedang duduk, lipatan lemak di perutnya tak disembunyikan dan ia tersenyum lebar.
Satu postingan foto tanpa busana Tara Basro di akun Twitter pada Selasa (3/3). Tara mengunggahnya disertai dengan caption "Worthy of Love".
Sementara di akun instagramnya, fotonya berbalut swim suit menyertakan caption yang lebih panjang. "Andaikan kita lebih terbiasa untuk melihat hal yang baik dan positif, bersyukur dengan apa yang kita miliki dan make the best out of it daripada fokus dengan apa yang tidak kita miliki," tulis aktris bernama lengkap Andi Mutiara Pertiwi Basro itu.
Tara melalui dua unggahan itu ingin mengajak para pengikutnya di media sosial untuk berusaha melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang positif, termasuk bentuk tubuhnya. Dia tak mau terjebak dengan kebiasaan mengkritik dan menjelek-jelekkan tubuhnya sendiri.
Aktris ini berpendapat akan lebih baik untuk bersyukur atas segala apa yang dimiliki, tidak menghabiskan perhatian dengan menginginkan apa yang tak dipunyai.
Tara bangga memperlihatkan bentuk tubuhnya apa adanya. Dia menempuh perjalanan panjang sebelum bisa menyatakan, dia mencintai dan bangga atas tubuhnya sendiri. "Let yourself bloom."
Kontroversi
Netizen pun heboh dengan unggahan dari Tara, termasuk Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
PLT Kepala Humas Kominfo Ferdinandus Setu menilai postingan Tara Basro mengandung unsur pornografi dan melanggar UU ITE.
"Yang jelas kami melihat itu memenuhi unsur Pasal 27 ayat 1 tentang melanggar kesusilaan. Itu menafsirkan ketelanjangan. Foto yang ditampilkan itu, seperti yang tadi saya sampaikan, kami akan segera take down, tapi syukur-syukur sudah di-take down sendiri olehnya," ujar Pria yang akrab disapa Nando itu.
Menurutnya, unggahan Tara tetap mengandung unsur pornografi kendati bagian payudara dan kemaluannya tertutup.
"Intinya kami mau menyatakan bahwa aktivitas kita di media sosial dilindungi UU. Kita tidak boleh melakukan yang menjadi kemauan kita sendiri. Untuk anak-anak kami tidak ingin addicted terhadap pornografi," jelasnya.
Hal yang mengejutkan reaksi dari Bos Nando, Menkominfo Johnny G Plate yang justru memiliki kesan lain terhadap postingan Tara.
Johnny G Plate menyebut unggahan Tara tak melanggar Undang-undang ITE Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan.
"Kata siapa melanggar UU ITE? Enggak-lah. Harus dilihat baik-baik. Jangan didiametral (dilihat secara keseluruhan) begitu. Evaluasinya adalah itu bagian dari seni atau bukan. Kalau itu bagian dari seni, maka itu hal yang biasa. Namanya juga seni," ujar Johnny.
Johnny sendiri mengaku telah melihat foto yang diunggah Tara ke akun media sosial dan menilainya sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri.
"Saya juga sudah lihat fotonya kok. Fotonya masih dikategorikan itu bagian dari self respect. Untuk dirinya sendiri. Ada manfaatnya juga," katanya.
Hal yang menarik adalah Johnny membela pernyataan anak buahnya yang sempat menyebut bahwa foto tersebut melanggar UU ITE sebagai pernyataan sekadar mengingatkan.
"Tidak mungkin dia bilang begitu. Ya kalau dia bilang mulai, berpotensi, itu kan hipotesis. Tapi apakah pasalnya diterapkan terhadap fotonya Mbak Tara, itu soal lain. Harus dinilai dulu," jelasnya.
Subyektifitas
Melihat kontroversi yang terjadi, sangat terasa ada subyektifitas dalam menilai sebuah konten oleh Kominfo.
Ini mengingat pemilik platform (Instagram dan Twitter) yang memiliki mekanisme untuk menilai sebuah konten masuk dalam kategori pornografi tidak melakukan take down. Pihak yang melakukan take down adalah Tara sendiri setelah dunia maya menjadi heboh.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) pun dalam rilisnya untuk kasus Tara mengunggkapkan penggunaan pasal 27 ayat 1 UU ITE yang berkaitan larangan konten asusila termasuk pasal "karet" yang kerap dipakai untuk menyeret korban kekerasan seksual jadi korban lagi hanya karena memperjuangkan haknya.
SAFEnet melihat pelabelan pornografi pada unggahan Tara ini adalah tindakan abai dan buta konteks atas ekspresi yang dimaksud oleh Tara. Sebuah konten tidak hadir dalam ruang hampa. Produksi dan pemahamannya dipengaruhi dan dibatasi oleh konteks.
Kepala Sub Divisi DARK (Digital At-Risks) Ellen Kusuma menilai reaksi Kominfo dalam kasus Tara sangat berbahaya untuk kebebasan berekspresi.
"Bahaya sekali ini. Nanti seorang perempuan kalau melihat badannya tidak sesuai dengan standar kecantikan di masyarakat, makin tidak percaya diri, atau mendapatkan perundungan. Terus dengan pernyataan tidak sensitif seperti itu, datang dari institusi negara pula, selain mencekal suara perempuan, malah melanggengkan pemikiran bahwa tubuh perempuan adalah objek semata. Utamanya objek seksual. Dianggap sebagai objek pornografi. Mestinya dilihat konteksnya juga, tidak bisa hanya gambar saja,” tegasnya.
Menurutnya, pelabelan yang tidak tepat dan menyesatkan atas unggahan Tara Basro ini malah mengundang warganet untuk berbondong-bondong mencari tahu foto mana yang dimaksud. Di sisi lain, Ellen juga mengkritik bahwa Pasal 27 Ayat 1 UU ITE ini memiliki bias gender.
SAFEnet pun mencatat Kominfo pernah menggunakan Pasal karet 27 Ayat 1 UU ITE untuk menekan Youtuber Kimi Hime karena kontennya dianggap vulgar, sampai Kimi Hime harus menghapus kontennya.
"Selalu tubuh perempuan yang diatur-atur atau perempuan yang terkena dampak negatif lebih besar bila terkait dengan isu kesusilaan atau pornografi,” tambahnya.
Melihat terus berulangnya subyektifitas dalam menggunakan "Pasal Karet" di UU ITE, memang sudah seharusnya beleid ini direvisi agar kebebasan berekspresi tak terkekang di era digital.
@IndoTelko