Nama peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, Ravio Patra mendadak menjadi popular di dunia maya sejak Kamis (23/4).
Ravio yang selama ini dikenal menyuarakan kritikannya melalui akun media sosial Twitter @raviopatra dikabarkan ditangkap oleh aparat penegak hukum.
Banyak pihak mengaitkan penangkapan tersebut terakhir gencarnya Ravio mengkrtik soal program Kartu Prakerja dan keterlibatan mantan Staf Khusus Presiden Adamas Belva Syah Devara di proyek tersebut.
Ravio juga sempat mengkritik Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar yang diduga kuat terlibat konflik kepentingan dalam proyek-proyek pemerintah di Papua. Ia juga sempat menuliskan kritiknya tentang penanganan Covid-19.
Kronologi p
enangkapan seorang Ravio pun lumayan seru.
Mengutip Amnesty International Indonesia di akun @amnestyindo dikabarkan Ravio Patra ditangkap kemarin malam, Rabu (22/4) sekitar pukul 21.00 - 22.00 WIB.
Berdasarkan informasi yang didapatkan Amnesty Inetrnasional pada Selasa, 22 April 2020 sekitar pukul 14.00 WIB, Ravio mengadu kepada Southeast Asia Freedom of Expression Network (@safenetvoice) kalau ada yang meretas WhatsApp miliknya.
Selanjutnya di antara pukul 13.19 WIB hingga 14.05, Ravio mendapatkan panggilan dari nomor 082167672001, 081226661965 dan nomor telepon asing dengan kode negara Malaysia dan Amerika Serikat. Hasil penyelidikan Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (KATROK) nomor tersebut merupakan milik AKBP 'HS' dan Kol. 'ATD'.
Selama diretas, pelaku menyebar pesan palsu berisi provokasi sekitar pukul 14.35 WIB. Pesan yang dikirimkan ke sejumlah nomor berbunyi, "KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR! AYO KUMPUL DAN RAMAIKAN 30 APRIL AKSI PENJARAHAN NASIONAL SERENTAK, SEMUA TOKO YG ADA DIDEKAT KITA BEBAS DIJARAH".
Amnesty Internasional menduga motif penyebaran itu adalah untuk menempatkan Ravio sebagai salah satu pihak yang dijebak dengan seolah-olah akan membuat kerusuhan.
Berikutnya, sekitar pukul 19.14 WIB, Ravio menghubungi @safenetvoice kembali dan mengatakan, "Mas, kata penjaga kosanku ada yg nyariin aku tapi udah pergi. Tampangnya serem kata dia." Rekan @safenetvoice memintanya untuk mematikan telepon genggam lalu mengevakuasi diri ke rumah aman.
Ravio sempat menghubungi dan berkomunikasi dengan Pengurus @YLBHI untuk meminta advis hukum dan juga menghubungi Komisioner @KomnasHAM untuk meminta bantuan jika terjadi sesuatu dalam waktu dekat.
Ravio sempat mengabarkan sedang bersiap mengevakuasi diri ke rumah aman, tetapi kemudian sudah lebih dari 12 jam ia tidak bisa lagi dihubungi. Pada saat yang bersamaan sekitar pukul 00.30 WIB, muncul artikel di seword(dot)com dengan teks memojokkan Ravio.
Lain lagi
kronologi versi polisi. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Argo Yuwono menjelaskan penangkapan oleh Polda Metro Jaya karena adanya dugaan mengajak provokasi untuk melakukan penjarahan oleh Ravio. Selain Ravio, polisi juga mengamankan seorang WNA berinisial RS.
Penanganan keduanya dilakukan setelah polisi menerima laporan dari seorang saksi berinisial DR. Saksi tersebut mengaku menerima broadcast massage melalui Whatsapp (WA) bahwa ada pihak yang mengajak untuk melakukan penjarahan.
Usai mendapatkan laporan tersebut, Polda Metro Jaya bergerak cepat dengan mentracking nomor yang dimaksud. Polisi kemudian mengamankan Ravio Patra dan Seorang WNA di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Setelah mendapatkan laporan tersebut dari penyidik melakukan pengecekan nomor handphone dan profiling, RPS diketahui berada di Menteng, Jakarta Pusat dan dilakukan pengamanan pada saat RPS hendak memasuki kendaraan berpelat CD diplomatik dari kedutaan Belanda.
Saat ini penyidik Polda Metro Jaya telah mengirimkan barang bukti ke Labfor untuk mengetahui lebih lanjut jejak digitalnya. Status Ravio Patra sekarang adalah saksi dan telah dipulangkan.
Rapuh
Terlepas dari kontroversi, ada sebuah isu krusial terkait ranah digital yang layak menjadi perhatian dalam kasus ini yaitu masalah perlindungan data pribadi di era digital.
Merujuk kronologis versi Amnesty Internasional, sangat mengejutkan sekali sistem keamanan milik WhatsApp ternyata bisa diretas walau sudah memasang verifikasi dua arah, dimana SMS akan akan mengirimkan kode one time password (OTP) pada nomor teleponnya.
Dugaan sementara, pembajakan ini bisa terjadi lewat duplikasi kartu subscriber identity module (SIM)) sehingga WhatsApp bisa diambilalih oleh pembajak. Kemungkinan lainnya ada malware yang masuk dimana pengguna secara tak sadar terjebak dalam praktik phising berkedok social engineering.
Namun, jika ada malware pun mengingat Ravio mengklaim sudah menerapkan verifikasi dua arah, praktik duplikasi SIM tetap dibutuhkan agar pembajakan berhasil untuk mendapatkan OTP. Kemungkinan lain, SMS diintersep oleh pembajak dengan memasang fake BTS di sekitar pengguna.
Skenario apapun yang dipilih, dibutuhkan modal dan energi yang lumayan besar untuk membajak akun WhatsApp dari seorang Ravio.
Isu kedua adalah penggunaan aplikasi pelacakan nomor untuk mengetahui nomor yang menghubungi atau mengirim pesan. Sudah lama keberadaan aplikasi semacam ini menjadi kekhawatiran di kalangan penggiat digital, terutama terkait perlindungan data pribadi.
Terlepas dari itu semua, langkah polisi melakukan aksi preventif untuk mengatasi hasutan di tengah pandemi Covid-19 tentu sudah benar walau dalam prosesnya memunculkan diskursus di publik.
Kita harapkan kasus ini tak selesai hanya dengan memulangkan Ravio, tetapi polisi menuntaskan kontroversi ini, terutama mencari kebenaran tentang isu peretasan akun WhatsApp.
Jika kasus ini tak dituntaskan, tentu bisa berdampak kepada kredibilitas penegak hukum sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Hal yang lebih mengerikan, kasus seperti ini bisa kembali terulang. Tak hanya menimpa "selebriti" seperti Ravio, tetapi masyarakat biasa yang di era digital sudah saling terkoneksi tetapi tak memiliki "kedaulatan" atas perangkat dan aplikasinya.
@IndoTelko