Sebuah putusan mengejutkan dikeluarkan majelis hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Ketua Majelis Hakim Nelvy Christin, S.H., M.H., didampingi hakim anggota Baiq Yuliani, S.H. dan Indah Mayasari, S.H., M.H., memutuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada 2019.
"Mengabulkan gugatan para tergugat untuk seluruhnya. Menyatakan perbuatan para tergugat adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan atau pemerintahan," ucap Nelvy membaca putusan.
Dalam putusan itu, Hakim juga memerintahkan pemerintah untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
"Menghukum para tergugat menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia," tuturnya.
Kronologis
Kebijakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 digugat oleh SAFEnet Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan terdaftar di PTUN dengan nomor 230/6/2019/PTUN-Jakarta. Sebagai tergugat adalah Menkominfo dan Presiden Joko Widodo.
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir layanan data internet di Papua dan Papua Barat sebagai buntut dari kerusuhan di Manokwari yang diduga merupakan bentuk protes terhadap tindakan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di beberapa daerah seperti Malang, Surabaya, dan Semarang pada 19 Agustus 2019.
Kominfo melakukan pemblokiran layanan Data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat mulai Rabu (21/8), setelah pada (19/8) sempat menjalankan throttling atau pelambatan akses/bandwidth untuk akses media sosial (Medsos) di kedua wilayah itu.
Kominfo mengungkapkan kabar bohong terkait dengan kondisi di Papua sangat banyak. Berdasarkan data Kominfo, terdapat 300 ribu URL (Uniform Resource Locator) yang memuat berita bohong terkait dengan kondisi Papua dan Papua Barat sejak 18 Agustus 2019.
Pemerintah menggunakan salah satu pasal di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 40 ayat 2a dan ayat 2b sebagai landasan hukum dari aksinya.
Pasal 40 ayat 2a berbunyi, "Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Sedangkan ayat 2b berkata, "Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."
Namun, hal yang dilupakan pasal 40 UU ITE memang mencantumkan "muatan yang melanggar hukum" tetapi banyak kalangan berpendapat itu maksudnya merujuk pada tindak pidana tertentu yang telah diputus pengadilan.
Hal itu bisa terlihat dalam pertimbangan mengeluarkan putusan, Hakim menjelaskan sesuai dengan pengaturan pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM) harus dengan Undang-Undang, tidak bisa sembarangan menggunakan diskresi. Sementara di UU, yang diatur adalah adalah informasi dan dokumen yang melanggar hukum. Bukan memblokir jaringan.
Majelis hakim menilai secara prosedur tindakan internet shutdown menyalahi prosedur. Tidak didahului pengumuman keadaan bahaya. Secara substansi pemadaman internet juga menyalahi ketentuan Diskresi, dan bertentangan dengan UU dan asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam persidangan terungkap, saksi ahli hukum administrasi negara Oce Madril menjelaskan pemerintah tidak dapat memutus akses internet secara keseluruhan karena tindakan tersebut bertentangan dengan UU ITE.
Tindakan pemerintah itu juga bertentangan dengan Dewan HAM PBB yang telah mengatakan bahwa memutuskan hubungan orang-orang dari internet adalah melanggar HAM dan melanggar hukum internasional.
Fakta lain yang terungkap di persidangan adalah Mantan Kapolda Papua, Inspektur Jenderal Polisi Rudolf Albert Rodja bersaksi ia tidak pernah merekomendasikan internet shutdown.
Sementara Dirjen Aptika Kominfo Semuel A Pangerapan bersaksi yang melakukan pelambatan atau pemutusan akses adalah operator, namun instruksi datang dari pemerintah.
Koordinasi dilakukan melalui WhatsApp Grup berisi Menkominfo dan semua CEO operator perusahaan telekomunikasi. Saat melakukan tindakan tidak pernah dikeluarkan surat keputusan apapun.
Melawan Demokrasi
Dalam catatan, Pemerintahan Presiden Jokowi dalam periode 2014-2019, pertama kali melakukan pembatasan akses terhadap media sosial kala menghadapi aksi demonstrasi massa yang berakhir rusuh pada tanggal 21 Mei 2019 hingga 22 Mei 2019.
Saat itu langkah yang diambil adalah pembatasan sementara dan bertahap sebagian akses platform media sosial dan pesan instan.
Banyak kalangan kala itu sudah mengingatkan pemerintah terhadap langkah drastis yang diambilnya.
Sejumlah kalangan mengingatkan langkah tersebut melanggar Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945. Sesuai dengan Undang - Undang Dasar 1945 pasal 28 F, berbunyi," Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".
Tak hanya itu, dari sisi hukum, berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena hak untuk berkomunikasi tidak bisa diabaikan. Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyatakan internet adalah sumber potensial untuk pencerahan yang pernah ada.
Pelajaran
Pemerintah harus memetik pelajaran dari putusan yang dikeluarkan PTUN dengan segera menata ulang dunia maya sesuai dengan tuntutan demokrasi dan zaman.
Pendekatan "Kekuasaan dan Keamanan" sudah terbukti tidak sesuai dengan semangat demokrasi.
Saatnya aturan soal penapisan konten dituntaskan untuk disahkan agar tidak ada lagi langkah panik berupa memadamkan jaringan internet karena tak mampu berdiskusi dengan sehat di dunia maya.
@IndoTelko