Indonesian Corruption Watch (ICW) berhasil mengungkapkan adanya guyuran dana yang lumayan besar bagi aktivitas digital termasuk pemanfaatan jasa pendengung alias buzzer hingga influencer oleh pemerintah belakangan ini.
Dalam kajian ICW berjudul "Aktivitas Digital Pemerintah: Berapa Milyar Anggaran Influencer?" lembaga ini mengumpulkan data pada 14 hingga 18 Agustus 2020. Salah satu metode yang dipakai adalah menelusuri Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
ICW mencatat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi lembaga dengan anggaran belanja terbesar untuk penggunaan jasa influencer. Anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 77,66 miliar.
Disusul peringkat kedua adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan Rp 10,83 miliar. Lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Rp 1,6 miliar, Kementerian Perhubungan dengan Rp 195,8 juta, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Rp 150 juta.
Sementara di sektor anggaran belanja untuk aktivitas digital, Kementerian Pariwisata berada di peringkat kedua dengan nilai anggaran mencapai Rp 263,29 miliar.
Untuk aktivitas digital, Polri di urutan pertama dengan mengeluarkan Rp 937 miliar. Berikutnya ada Kominfo dengan Rp 21,27 miliar dan Kementerian Keuangan dengan Rp 21,25 miliar.
Pemerintah dalam pembelaannya menyatakan influencer merupakan pelengkap jubir dan humas pemerintah, karena 'mampu menyentuh akar rumput dengan bahasa yang mudah dicerna', sehingga pemanfaatan jasa mereka hal yang wajar dalam strategi komunikasi.
Evaluasi
Alasan yang diungkap tentu bisa diterima mengingat di masa sekarang komunikasi tak lagi berlaku satu arah, tetapi dua arah. Respons publik terhadap sebuah kebijakan bisa dirasakan real time berkat adanya media sosial yang menempatkan setiap individu sebagai media.
Namun, alasan pihak-pihak yang mengkritisi langkah pemerintah memanfaatkan para influencer untuk "Bertarung" di media sosial guna memenangkan opini publik tentu layak juga didengar.
Bagi yang kontra dengan kebijakan ini melihat pemerintah seperti kurang percaya diri dengan program yang dibuat sehingga membutuhkan "vitamin" dari pendengung untuk menjustifikasi dari kebijakan yang diambil.
Para pendengung pun dinilai tak transparan terhadap konten yang dibuatnya dimana terkesan "memanfaatkan" ruang media yang dimilikinya untuk mencari keuntungan.
Para pendengung atau influencer harusnya "bertingkah" layaknya media dimana untuk sebuah postingan yang "berbayar" harus membuat disclaimer agar para pembacanya paham terhadap konten yang disampaikan.
Terakhir, banyak pihak mulai jengah dengan aksi para pendengung yang seperti membiaskan sebuah masalah bahkan terkadang cenderung melakukan serangang Ad hominem kepada personal yang dianggap tak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Untuk yang terakhir ini, para pengkritik menilai negara melakukan fasilitasi terhadap "pertarungan" antar kelompok masyarakat di dunia maya dengan menggunakan uang pajak. Sesuatu yang disayangkan karena sebenarnya tugas negara dalam era demokrasi adalah memfasilitasi kebebasan berpendapat agar akal sehat tetap terjaga di ruang publik.
@IndoTelko