Tahun 2020 yang baru saja kita lewati bersama menjadi sebuah catatan yang tak bisa dilupakan sebagai bagian dalam perjalanan kehidupan berbangsa.
Di tahun 2020 sejumlah peristiwa terjadi dipicu pandemi COVID-19. Wabah virus Corona (Covid-19) menjadi akselerator utama dari transformasi digital yang bergulir demikian kencang tak hanya di Indonesia, mungkin juga global.
Pandemi Covid-19 berhasil mempercepat bahkan memaksa terjadinya transformasi bisnis di semua sektor, terutama pendidikan, hingga aktivitas jual beli.
Singkatnya, pandemi Covid-19 telah mengajarkan kepada semua pihak untuk bagaimana beraktivitas secara online.
Covid-19 berhasil menuntaskan debat yang selama ini banyak terjadi antara pekerja (terutama milenial) dengan perusahaan tentang konsep Bring Your Own Device (BYOD) dalam bekerja.
Jika dulu pekerja milenial sering mengatakan hanya butuh laptop dan cafe yang nyaman untuk bekerja, di mana selalu dibantah oleh perusahaan dengan isu keamanan, maka sekarang mau tidak mau kedua belah pihak menemukan kompromi dalam skema work from home.
Inti dari transformasi digital yakni mendidik konsumen dengan cara-cara baru, mengembangkan layanan dan produk inovatif, menurunkan biaya, serta meningkatkan efisiensi waktu benar-benar dirasakan dipacu Covid-19. Transformasi ini menghasilkan disrupsi di masing-masing industri dan masyarakat.
Konsolidasi
Pandemi juga menjadikan konsolidasi di sektor telekomunikasi menjadi terealisasi. Hal itu ditandai dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) secara eksklusif antara Ooredoo dengan CK Hutchison Holdings Limited (CK Hutchison). Masing-masing adalah induk usaha dari Indosat Ooredoo dan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri Indonesia).
Dalam siaran pers Senin (28/12), periode eksklusivitas untuk MoU ini berlaku hingga 30 April 2021.
Saat ini keduanya sedang dalam tahap awal menilai manfaat dari potensi transaksi tersebut.
"Sebagai bagian dari strategi perusahaan kami, kami secara teratur meninjau prioritas strategis dan posisi pasar kami di semua operasi kami, dan kontribusinya terhadap Ooredoo Group," ujar Ooredoo.
Ooredoo menekankan bahwa tidak ada kesepakatan yang mengikat secara hukum sehubungan dengan kemungkinan kesepakatan yang telah dibuat pada tanggal pengumuman ini.
Perusahaan menambahkan akan membuat pengumuman lebih lanjut terkait kesepakatannya dengan Tri Indonesia jika diperlukan.
Meski masih prematur, upaya konsolidasi ini tentu harus diapresiasi mengingat lanskap bisnis seluler di Indonesia tak begitu ideal terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam terbatas alias frekuensi.
Bisa ditebak, keinginan adanya konsolidasi ini muncul tak bisa dilepaskan dengan disahkannya Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) dimana memberikan kepastian soal kepemilikan frekuensi pasca adanya merger dan akuisisi.
Konsolidasi tentu langkah yang realistis dilakukan pemain seluler di tengah pandemi. Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) dalam kajian ‘Indonesia ICT Industry Outlook 2021’ memprediksi bisnis telekomunikasi tumbuh 5,3% di 2021.
Mastel mengingatkan operator telekomunikasi perlu mewaspadai kompetisi tidak sehat yang terjadi saat ini. Meski diprediksi tumbuh 5,3% pada 2021, beban investasi berpotensi menghambat pertumbuhan industri. Saat ini, harga paket data di Indonesia hanya di kisaran US$0,4 per gigabit, menjadi yang terendah kedua di dunia.
Padahal, peningkatan konsumsi rata-rata paket data mencapai 87% pertahun. Pada gilirannya, kondisi ini akan menekan arus kas perusahaan dan berpotensi menggerus EBITDA margin yang turun 5% dibandingkan 10 tahun lalu. Return on Invested Capital juga menurun secara signifikan menjadi hanya 1% di 2019 dari sebelumnya 7% pada 2009.
Konsolidasi diyakini akan menjadi salah satu obat mujarab untuk mengatasi resiko di atas, terutama nantinya dalam ekspansi layanan.
Hal yang ditunggu adalah, akankah konsolidasi benar memunculkan harmoni?
@IndoTelko