Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan untuk memberikan kepastian hukum dan penyederhanaan atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas penyerahan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer.
Di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 6/PMK.03/2021, pengenaan pajak (PPN dan PPh) atas penyerahan pulsa/kartu perdana/token listrik/voucer sudah berlaku selama ini, sehingga tidak terdapat jenis dan objek pajak baru.
Pemungutan PPN atas pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer berdasarkan ketentuan yang baru
hanya sampai distributor tingkat II (server), sehingga untuk rantai distribusi selanjutnya seperti dari pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi.
Distributor pulsa juga dapat menggunakan struk tanda terima pembayaran sebagai Faktur Pajak sehingga tidak perlu membuat lagi Faktur Pajak secara elektronik (eFaktur).
Token listrik, PPN dikenakan hanya atas jasa penjualan/pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, dan bukan atas nilai token listriknya.
Voucer, PPN hanya dikenakan atas jasa pemasaran voucer berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucher, bukan atas nilai voucer itu sendiri. Hal ini dikarenakan voucher diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang memang tidak terutang PPN.
Di sisi lain, pemungutan PPh Pasal 22 untuk pembelian pulsa/kartu perdana oleh distributor, dan PPh Pasal 23 untuk jasa pemasaran/penjualan token listrik dan voucer, merupakan pajak yang dipotong dimuka dan tidak bersifat final. Atas pajak yang telah dipotong tersebut nantinya dapat dikreditkan oleh distributor pulsa atau agen penjualan token listrik dan voucher dalam SPT Tahunannya.
Dalam kacamata pemerintah, dipastikan bahwa ketentuan ini tidak mempengaruhi harga pulsa/kartu perdana, token listrik, atau voucer.
Tax Gap
Banyak kalangan menilai mengubah pola pungutan PPN dan PPh menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam mengurangi tax gap yaitu menutup celah potensi penerimaan pajak yang seharusnya bisa diterima oleh pemerintah.
Pada dasarnya pulsa, kartu perdana, token, dan voucer sudah merupakan barang kena pajak (BKP) yang telah diatur dalam UU PPN.
Dalam praktik selama ini, yang sering terjadi adalah kebingungan dalam hal administrasi pemungutan PPN atas barang-barang tersebut. Dengan adanya peraturan ini, bisa memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan tata cara pemungutan PPN.
Sementara dari sisi PPh, selama ini masih terdapat potensi ketidakpatuhan PPh dari penyelenggara distribusi barang-barang tersebut. Apalagi, sistem PPh di Indonesia merujuk pada pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis.
Termasuk, dalam hal ini, pihak-pihak yang menerima tambahan kemampuan ekonomi dari penjualan pulsa, kartu perdana, token listrik, juga voucer.
Melalui peraturan ini pemerintah menggunakan mekanisme pemotongan (withholding tax) dalam rangka menjamin kepatuhan para pelaku dan penerima penghasilan di ekosistem distribusi pulsa dan kartu perdana.
Hal yang menjadi tantangan dalam implementasi aturan ini adalah pengawasan terhadap pungutan pajak pulsa dan kartu perdana.
Pasalnya, penjualan pulsa atau kartu perdana dilakukan secara berjenjang, mulai dari produsen atau penyedia awal pulsa dan kartu perdana, kemudian distributor tingkat satu dan seterusnya, hingga ke penjual eceran dan konsumen akhir.
Sudah menjadi rahasia umum, untuk level dibawah distributor tingkat II, banyak terdiri dari pelaku usaha kecil dan Menengah (UKM), bahkan perorangan.
Pola pungutan baru ini tentunya akan membuat distributor tingkat II harus mampu menertibkan peritel dibawahnya untuk tertib administrasi agar bisa menjalankan kewajiban pemungut PPN.
Belum lagi masalah transaksi yang bisa mencapai ratusan per hari, ini tentu menghadirkan kerumitan di level peritel nantinya. Akankah skema baru ini berjalan mulus?
@IndoTelko