telkomsel halo

Starlink, bikin senang atau meriang?

14:36:00 | 26 May 2024
Starlink, bikin senang atau meriang?
Layanan Starlink milik Elon Musk akhirnya resmi beroperasi di jaringan Puskesmas milik Kementrian Kesehatan (Kemenkes) pertengahan Mei ini.

Tak tanggung-tanggung, tiga menteri Kabinet Indonesia Maju menghadiri peresmian layanan Starlink bersama Elon Musk di salah satu puskesmas di Denpasar, Bali.

Kemenkes menggandeng Starlink untuk menyediakan akses internet yang cepat dan menjangkau seluruh puskesmas di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK).

Kehadiran Starlink diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia karena kemampuannya menjangkau lebih banyak puskesmas di area yang selama ini memiliki tantangan geografis.

Kemenkes mencatat dari 10.000 puskesmas yang ada di Indonesia, sekitar 745 tidak memiliki akses internet sama sekali dan 1.475 memiliki akses internet yang terbatas. Semuanya tersebar di 7.000 pulau di Indonesia.

Diharapkan kehadiran Starlink membuat layanan kesehatan di wilayah itu mendapat akses internet yang layak sehingga kualitasnya tidak akan berbeda dengan Puskesmas yang ada di daerah perkotaan.

Biaya untuk berlangganan dan pengadaan infrastruktur Starlink oleh puskesmas tidak menggunakan anggaran Kemenkes, tetapi menggunakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) di bawah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditransfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah setiap tahunnya.

Starlink beroperasi di Indonesia di bawah bendera PT Starlink Services Indonesia (SSI) yang telah mengantongi izin sebagai penyelenggara layanan Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan Internet Service Provider (ISP).

Starlink Services Indonesia memiliki tiga Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yaitu 61300, 61921, dan 63122. KBLI menjadi acuan atas pengklasifikasian aktivitas/kegiatan ekonomi Indonesia yang menghasilkan produk/output, baik berupa barang maupun jasa, berdasarkan usaha.

Sayangnya, banyak yang ghoib dari teknis Starlink Services Indonesia. Misal, band frekuensi yang dipakai belum terlalu jelas. Sebagian referensi menyebutkan di E band, yang lain menyampaikan mungkin di Ku dan atau Ka band. Jika di Ku Band, yg biasanya beroperasi di rentang frekuensi 12-14 Ghz akan berpotensi tak berdaya karena redaman hujan relatif tinggi di wilayah Indonesia, kecuali Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sebagian Indonesia timur.

Belum lagi masalah izin hak labuh (Landing Right), Network Operation Center (NOC), atau ketersediaan Disaster Recovery Center di Indonesia.

Jangan lupakan isu pemenuhan regulatory cost layaknya penyelenggara VSAT dan Internet seperti membayar biaya hak penggunaan (BHP) Telekomunikasi, frekuensi, dan sumbangan Universal Service Obligation (USO).

Terakhir, kabarnya Starlink belum menggunakan IP lokal. Jaringannya langsung tersambung ke Starlink di Amerika Serikat. Dengan begitu, pemerintah Indonesia tidak memiliki kontrol atas mereka.

Sebagai informasi, alamat Internet Protocol (IP) adalah serangkaian angka yg menjadi identitas perangkat yang terhubung dengan jaringan. IP ini juga dimiliki oleh komputer, ponsel, ataupun server dari website. Selain itu. penggunaan IP Global bisa memicu praktik perjudian online bisa makin menjamur di Indonesia. Ini karena IP-nya tak memiliki NOC (Network Operating Control) disini, sehingga tidak bisa bisa dicek langsung apalagi diintersepsi.

Semoga semua hal yang sumir ini disadari pemerintah dan menjadi catatan untuk diselesaikan Starlink pasca kejar tayang komersial demi kehadiran sang milarder di Bali.

Meriang
Hal yang pasti, Netizen terlihat senang. Berdasarkan laman resmi Starlink, harga yang perlu dikeluarkan konsumen rumah tangga (standar) terbilang menarik. Biaya langganan internet sekitar Rp 750.000 dengan penggunaan data tidak terbatas (unlimited) dan klaim tingkat latensi rendah.

Konsumen juga memerlukan unit perangkat keras yang terdiri dari antena parabola Starlink, router, dan peralatan pemasangan seharga Rp 7,8 juta (yang saat ini mendapatkan diskon menjadi Rp 4,7 juta hingga 10 Juni 2024) serta pengiriman dan handling senilai Rp 345.000.

Tawaran ini terbilang menarik oleh sejumlah warga, terutama warganet yang mengikuti isu ini di media sosial. Para pengguna Starlink juga membagikan ulasan mereka dengan klaim mampu menangkap sinyal dengan baik, terutama di daerah yang tidak tercakup oleh penyedia jasa internet lokal.

Tetapi bagaimana dengan operator eksisting? Kelihatannya pemain lama mulai meriang. Model bisnis ke konsumen (B2C) yang dijalankan Starlink jelas akan mendatangkan ancaman bagi penyedia jasa internet dalam negeri.

Migrasi konsumen internet lokal ataupun operator telekomunikasi seluler dapat dengan mudah beralih ke Starlink karena mengalami permasalahan, seperti akses internet yang terkendala hingga harga layanan yang terus mengalami kenaikan. Dengan berbagai pertimbangan dari pihak konsumen, biaya pemasangan dan berlangganan Starlink menjadi relatif atau tergantung pada daya beli konsumen.

Hingga saat ini, sekitar 15.000 warga Indonesia berminat pada layanan Starlink dan 500 warga masih masuk daftar tunggu untuk mendapatkan unit perangkat kerasnya.

Tentu saja, antusiasme ini menjadi disrupsi pasar digital bagi penyedia layanan internet dalam negeri. Melalui laman Starlink, Indonesia kini menjadi salah satu pasar pemasaran Starlink selain Jepang, Filipina, Singapura, dan Malaysia yang lebih dulu memberikan izin kepada anak perusahaan Elon Musk tersebut.

Dari segi bisnis, kedatangan Starlink di Indonesia dinilai berpotensi merusak harga di pasaran (predatory effect). Selain itu, pemerintah dianggap abai terhadap infrastruktur yang dimilikinya yakni Satelit Indonesia Raya (SATRIA-1) yang pasarnya seharusnya tak jauh berbeda dengan Starlink untuk layanan di area rural, termasuk untuk sektor kesehatan.

Secara geopolitik, Perusahaan Elon Musk ini bukan hanya trafik dan kontennya di luar jangkauan yuridiksi, kedaulatan digital dan kewenangan hukum nasional Indonesia tapi juga fungsinya bisa dimanfaatkan mereka yg ingin melawan kedaulatan negara atau yg mengancam keamanan nasional.

Starlink sebagai perusahaan AS dilindungi oleh UU milik Paman Sam bernama US Cloud Act 2018. Menurut UU tersebut, data yang mereka kumpulkan atau berada di perusahaan AS tidak boleh diakses negara lain (termasuk Indonesia), tapi harus terbuka pada Pemerintah dan penegak hukum AS.

Jika Starlink dimanfaatkan oleh teroris atau Organisasi Papua Merdeka (OPM), maka datanya bisa diakses intelejen dan pemerintah AS untuk kepentingan politiknya. Sebaliknya data-data itu tidak bisa diakses oleh pemerintah Indonesia. Disitulah kenapa Starlink ini dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada akhirnya, nasib berkembangnya atau tidaknya bisnis Starlink di Indonesia bergantung pada masyarakat. Perusahaan telekomunikasi di dalam negeri seharusnya segera sadar untuk mengevaluasi produk atau jasa mereka yang selama ini beroperasi.

Tetapi, pemerintah pun perlu lebih cermat dalam menangani Starlink. Apalagi, sinyal investasi Tesla di Indonesia yang menjadi incaran utama tak kunjung datang.

Karpet merah boleh saja terlanjur digelar, tetapi regulasi harus ditegakkan agar ada kesetaran dalam berusaha.

Jika tidak, bisa bubar industri telekomunikasi nasional karena regulatornya tak berwibawa.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year