Ilustrasi (DOK)
Pada Sabtu (23/3), bisa menjadi mimpi buruk bagi jajaran manajemen Smartfren Telecom. Pasalnya, kabel laut utama milik operator tersebut putus di jalur antara Pulau Bangka dan Pulau Batam.
Jaringan ini merupakan rute utama layanan internet Smartfren menuju Singapura sebelum ke internet global.
Sialnya, jaringan backup trans Sumatra di dua sisi, yaitu jalur timur dan barat juga ikutan bermasalah, sehingga jaringan data operator dengan tagline I Hate Slow ini ngadat.
Alhasil, sejak Sabtu hingga Selasa (26/3), operator ini menjadi sasaran kemarahan pelanggannya. Smartfren diketahui memiliki 11,5 juta pelanggan dimana 5 juta diantaranya pelanggan data.
Kemarahan dari pelanggan Smartfren merupakan hal yang wajar. Pasalnya, informasi yang beredar simpang-siur. Mulai dari kabel laut putus hingga tunggakan sewa jaringan belum dibayar oleh Smartfren.
Titik terang justru didapatkan dari kicauan Menkominfo Tifatul Sembiring melalui akun twitter-nya yang menjelaskan secara runut gangguan jaringan Smartfren.
Lantas kemana para jajaran manajemen Smartfren? Baru setelah keluarnya kicauan dari Menkominfo dan bersuara tegasnya Kepala Pusat Informasi dan Humas KemenKominfo Gatot S. Dewa Broto tentang kemungkinan sanksi yang diterima operator tersebut, pernyataan lebih komprehensif dikeluarkan manajemen Smartfren.
Rilis resmi pun dikirimkan ke media massa jelang malam Selasa (26/3), menceritakan kronologi tumbangnya jaringan. Pada Rabu (27/3), digelarlah konferensi pers menjelaskan duduk persoalan.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian ini ada dua. Pertama dari sisi penanganan krisis komunikasi. Sudah tidak masanya lagi operator berdiam diri kala layanan menghadapi masalah. Ruang media yang terbuka lebar dan komunikasi interaktif di social media membuat pilihan untuk diam bukanlah hal yang bijaksana.
Andai saja jajaran manajemen Smartfren sejak Sabtu (23/3) itu terbuka mengumumkan ada masalah, tentu pelanggan tak akan murka karena informasi yang didapatkan serta kompensasi yang didapatkan jelas.
Kedua, dari sisi teknis. Sudah saatnya operator telekomunikasi memikirkan untuk membangun rute lainnya ke hub internet internasional, selain Singapura.
Pilihan untuk menjadikan Singapura sebagai hub secara bisnis memang realistis, tetapi memilih hub lainnya seperti China, Australia (Darwin), atau Hong Kong, dengan memanfaatkan selesainya koneksi backbone di Indonesia bagian timur tentu hal yang wajar dipertimbangkan.
Sudah saatnya semua operator membangun backbone dan backhaul secara bersama-sama agar investasi bisa ditekan dan tarif ke pelanggan lebih terjangkau. Pemerintah sebagai regulator harus bisa memfasilitasi hal ini untuk layanan broadband yang lebih baik di Indonesia.
@IndoTelko.com