Geliat e-commerce di Indonesia membuat banyak pihak ingin ikut mencicipi gurihnya kue yang tersedia.
Simak data yang disajikan Bank Indonesia (BI) dimana tersaji volume e-money pada Oktober 2012 mencapai 9,97 juta transaksi dengan nilai transaksi Rp 1,48 Triliun.
Angka tersebut tumbuh 113,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya 4,66 juta transaksi.
Belum lagi data lembaga riset International Data Corporation (IDC) yang mengungkapkan nilai perdagangan lewat internet di Indonesia tahun 2011 mencapai US$ 3,4 miliar atau sekitar Rp 30 triliun.
Hasil survei Master Card Worldwide pada Februari lalu juga menunjukkan tren peningkatan belanja online sebesar 15% di Indonesia dalam enam bulan ke depan.
Pada tahun ini pembelanja online diprediksi meningkat menjadi 7%-8% dari total jumlah pengguna Internet yang diperkirakan mencapai 80 juta. Itu artinya, jumlah pembelanja online sekitar 5,6 juta sampai 6,4 juta.
Nilai transaksi perdagangan online pada 2013 tumbuh 79,7% dibandingkan dengan 2012 menjadi US$ 478 juta atau sekitar Rp 4,6 triliun.
Volume transaksi pada 2013 bisa mencapai 19,109 juta kali, meningkat 57,9% dibandingkan dengan prediksi tahun lalu yang sebanyak 12,103 juta.
Pada 2014 nilai transaksi diprediksi bakal melonjak hingga US$776 juta atau setara Rp 7,5 triliun dengan jumlah transaksi mencapai 28,648 juta kali.
Survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) lebih spekatakuler. Tercatat, nilai transaksi e-commerce pada tahun 2012 mencapai Rp 126 triliun. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibanding dengan tahun 2011 dimana nilai transaksi e-commerce mencapai Rp 63 triliun.
Data yang tersaji ini tentu membuat para investor berbondong-bondong datang ke Indonesia. Lihat saja kedatangan pemain raksasa dari luar negeri seperti e-bay yang menggandeng Telkom, Multiply, Rakuten, atau pemain lokal yang digandeng Allegro Group, Tokobagus.
Pemerintah pun tak tinggal diam. Atas nama melindungi konsumen, rencananya sejumlah regulasi pun dikeluarkan atau dalam penggodokan.
Kementrian Komunikasi dan informatika (Kemenkominfo) mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Peraturan Pemerintah tentang Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) kabarnya tengah menyiapkan sejumlah aturan yang mengatur e-commerce. Mulai dari penempatan server hingga penggunaan nama domain.
Bank Indonesia juga tengah mengupayakan peraturan mengenai transaksi e-commerce dengan menitik beratkan pada masalah pembayaran secara online.
Terbaru, Kementrian Perdagangan (Kemendag) tengah menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) yang di dalamnya akan mengatur pengenaan pajak atas transaksi online. Ditargetkan RUU itu akan menjadi UU pada tahun ini.
RUU Perdagangan ini nantinya bukan hanya masalah tata niaga yang akan dipayungi, tetapi juga terkait penyikapan fiskal dan perpajakannya.
Jika mendengar investor berdatangan industri gembira, maka kala melihat tingginya animo pemerintah untuk mengatur e-commerce, yang muncul adalah suara-suara khawatir karena terjerat sejumlah jaring regulasi.
Pasalnya, jika bisnis terlalu banyak diatur dan pengawasnya terlalu banyak biasanya berujung pada biaya tinggi.
Jika diteliti lebih jauh, pemain e-commerce kebanyakan datang dari segmen Usaha Kecil dan Menengah (UKM) atau ibu rumah tangga.Nah, jika untuk segmen ini ditebar jaring regulasi yang berlapis, masih adakah keinginan mereka untuk berusaha?
Pemerintah harus bijak melihat hal ini dan berfikir dalam menjadi regulator tidak hanya terfokus membuat dan menjalankan regulasi, tetapi juga melindungi konsumen dan produsen.
Jika dipaksakan jaring regulasi itu ditebar, bisa jadi e-commerce akan layu sebelum berkembang di Indonesia.
@indotelko.com