Ilustrasi (DOK)
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada pekan lalu memberikan kejutan bagi pengguna teknologi broadband di Indonesia.
Sebuah pemikiran berani dilontarkan oleh Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Informatika Muhammad Budi Setiawan usai menghadiri peresmian kantor baru Qualcomm di Jakarta, Rabu (1/5).
Pria yang akrab disapa Iwan ini memberikan jalan bagi pemilik lisensi frekuensi di 2,3 GHz agar bisa mengoperasikan teknologi 4G Long Term Evolution (LTE) terlebih dulu paling cepat dimulai akhir 2013 ini.
Standar yang akan digunakan nantinya adalah TD-LTE. Di 2,3 GHz terdapat beberapa nama pemain yakni Berca Hardayaperkasa, First Media, Telkom, Indosat Mega Media (IM2), Internux, dan Jasnita Telekomindo.
Rencananya, sebanyak sisa 60 MHz di 2,3 GHz juga akan dilelang ditambah 15 MHz milik Telkom dan Konsorsium Wireless Telecom Universal yang mengembalikan frekuensi.
Belajar
Secara wacana, ide ini tentu luar biasa. Pasalnya, LTE sudah banyak digelar di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Tetapi pertanyaan kritisnya, akankah ini berhasil?
Jika melihat perkembangan bisnis di frekuensi 2,3 GHz, sepertinya jauh dari harapan walau sudah diberlakukan netral teknologi di spektrum tersebut.
Hanya dua operator yang masih mengembangkan WiMax di frekuensi itu yakni First Media dan Berca. Tetapi, First Media hingga sekarang belum berani mengomersialkan secara resmi layanan ini.
Berca berencana akan memperluas ekspansi jaringan WiMax ke 10 kota lagi setelah mengkomersilkan layanan dengan merek WiGO ini di Pontianak dan 7 kota lainnya seperti Medan, Makassar, Palembang, Pekanbaru, Batam, Bali, dan Balikpapan.
Berca mengklaim memiliki sekitar 10 ribu pelanggan dengan total base station hampir 300 BTS. Tahun ini ditargetkan pelanggannya bertambah menjadi 15 ribu dengan tambahan 300 BTS baru. Total investasi untuk mengembangkan WiGO selama lima tahun akan menghabiskan dana sekitar US$ 500 juta.
Kedua operator pun masih dalam tahap mengintip untuk menggelar TD-LTE walau memungkinkan dijalankan. Pasalnya, dari sisi ekosistem mengimplementasikan teknologi baru tentu beresiko. Investasi akan keluar banyak di depan, sementara keuntungan masih jauh diraih.
Inilah yang terjadi di pemain berbasis WiMax sejak digelar 2009 lalu. Mereka tak mampu bersaing dengan penguasa mobile broadband yakni pemain berbasis teknologi GSM dengan evolusinya.
Pemberian TD-LTE bagi pemain 2,3 GHz diperkirakan tak akan mulus tidak hanya dari eksositem, tetapi resistensi misalnya dari Telkom yang kadung melepas frekuensi dimilikinya.
Jika sudah begini, mungkin ada baiknya pemerintah belajar dari masalah-masalah yang terjadi di masa lalu dalam mengadopsi teknologi baru.
Masalah ekosistem dan skala ekonomi adalah pertimbangan utama untuk mengambil keputusan lokasi frekuensi yang tepat menjalankan teknologi baru.
Tidak ada gunanya mengambil keputusan yang terburu-buru hanya sekadar gengsi tetapi di masa depan kebijakan berubah-ubah dan berujung terbuangnya investasi.
@IndoTelko.com