Ilustrasi (DOK)
Pada pekan lalu BSA The Software Alliance bersama aparat kepolisian menemukan sebanyak 20 perusahaan di wilayah Subang, Bogor, dan Cikarang menggunakan software tak berlisensi.
BSA memeriksa lebih dari 400 perangkat komputer dan menyita software tidak berlisensi senilai US$ 177.018 atau sekitar Rp 1,7 miliar yang dimiliki Adobe, Autodesk, Microsoft, dan Symantec.
Menurut BSA perusahaan-perusahaan yang menggunakan perangkat lunak tersebut bergerak di bidang industri garmen dan tekstil, suku cadang otomotif, kimia, percetakan dan industri pakan ternak.
Aksi ini bukan yang pertama kali dilakukan BSA bersama kepolisian. Pasalnya, menurut studi yang diterbitkan BSA-IDC tentang software bajakan, tingkat pembajakan di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 86% dengan nilai komersial setara US$ 1,4 miliar.
Selain ada kerugian komersial, pembajakan software juga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Misalnya, perusahaan software menjadi malas melakukan re-investasi atau malah gulung tikar. Ini tentu berdampak juga kepada pengurangan lapangan kerja.
Hal yang membuat miris adalah dalam temuan di lapangan dimana perusahaan yang menggunakan software bajakan menyadari jika produk yang digunakan tak berlisensi.
Alasannya adalah penghematan biaya operasional tanpa memperhitungkan aksi yang dijalankan justru menempatkan bisnisnya dalam risiko hukum dan mempertaruhkan kualitas produknya.
Software berlisensi memang mahal. Tetapi, ada harga ada rupa. Menggunakan barang asli tentu memberikan keuntungan, meningkatkan produktivitas serta keamanan pada jaringan komputer dan data.Hal lain yang lebih penting adalah menghargai kekayaan hak intelektual dari pemilik software.
Sudah saatnya kita mengubah pola pikir terhadap produk TIK seiring kian strategis peranannya bagi perekonomian. Kita tak bisa lagi melihat produk TIK sebagai penunjang dan mencoba mengakali cara menggunakannya melalui produk bajakan.Saatnya kita menghargai hasil karya orang lain dengan membeli produk asli.
@IndoTelko.com