Layanan transportasi berbasis aplikasi (Ridesharing) kembali menjadi diskusi hangat sepanjang pekan lalu.
Pemicunya adalah keluarnya surat dari Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan ke Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara yang membongkar dosa-dosa layanan tranportasi online dari Uber dan Grab Car selama beroperasi di Tanah Air.
Dalam suratnya tertanggal 14 Maret 2016, Jonan meminta pemblokiran kedua aplikasi tersebut karena dalam menjalankan usaha baik di bidang transportasi maupun di perangkat lunak ada sejumlah aturan yang dilanggarnya.
Diantaranya, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. UU No 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. UU no 25 tahun 2007 tentang penanaman modal. Keputusan Presiden Nomor 90 tahun 2000 tentang kantor perwakilan perusahaan asing. Terakhir, Peraturan Pemerintah No 82 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Aksi Jonan didukung sejumlah pihak, terutama dari pemain transportasi konvensional yang kian terjepit oleh pemain ridesharing karena tidak adanya level kompetisi yang sama. (
Baca juga:
Dosa Ridesharing)
Ridesharing dituding melakukan predatory pricing karena tak memenuhi sejumlah aturan, sementara pemain konvensional harus mengeluarkan investasi sebagai konsekuensi mendapatkan lisensi, belum lagi keterikatan kepada skema pentarifan yang harus mengikuti regulator.
Sudut Pandang
Bak cerita telenovela, Rudiantara ternyata tak serta merta mengikuti permintaan dari Jonan yang jelas-jelas regulator di sektor transportasi. (Baca juga:
Solusi bagi Ridesharing)
Berbekal sinyal dari Presiden Joko Widodo yang menyatakan mendukung adanya ridesharing karena masyarakat membutuhkannya, Pria yang akrab disapa RA itu datang dengan solusi tak ada aksi pemblokiran. (
Baca juga:
Tak mudah menggoyang Ridesharing)
Aksi RA ini dituding hanya berbekal sudut pandang dari pemain ridesharing tanpa melihat sekelompok masyarakat lain yang sudah dirugikan oleh model bisnis ini.
RA bahkan tak berani melakukan bandwidth management sebagai regulator untuk menyenangkan semua pihak dengan melakukan pemblokiran terbatas kepada layanan milik Uber dan Grab.
Bahkan, karpet merah disajikan bagi Uber dan Grab dengan mempermudah mitranya mengurus badan usaha ke Kementrian Koperasi dan UKM.
Banyak pihak menilai aksi RA seperti memberikan “Elegi” kedua bagi Jonan, pasca kontroversi Ojek Online pada Desember 2015.
Padahal, aksi blokir terbatas layak diberikan, minimal kepada Uber yang ternyata statusnya melanggar Keputusan Presiden Nomor 90 tahun 2000 tentang kantor perwakilan perusahaan asing dan surat keputusan kepala BKPM Nomor 22 tahun 2001 bahwa Uber Asia Limited sebagai KPPA sesuai dengan pasal 2 keputusan kepala BKPM Nomor 22 tahun 2001, KPPA tidak diperkenankan melakukan kegiatan komersial, termasuk jual beli barang dan jasa di Indonesia dengan perusahaan atau perorangan.
KPPA sesuai aturan juga tidak akan ikut serta dalam bentuk apapun dalam pengelolaan sesuatu perusahaan, anak perusahaan atau cabang perusahaan yang di Indonesia.
Layak Dibela?
Pertanyaan sekarang, layakkah pemain seperti Uber dan Grab dibela?
Dalam catatan, hampir di semua wilayah operasinya Uber bermasalah dan menuai protes. Mulai dari Prancis, Spanyol, Belanda, Tiongkok, India, Meksiko, Amerika Serikat.
Bahkan, di bulan Maret, lembaga PBB bagi urusan perempuan mengundurkan diri dari kemitraan dengan Uber yang telah berjanji akan menciptakan pekerjaan bagi 1 juta pengemudi perempuan pada 2020 setelah diprotes oleh serikat-serikat perdagangan dan berbagai organisasi masyarakat.
Jika dilihat solusi yang ditawarkan Rudiantara dengan mendorong mitra dari ridesharing untuk memenuhi aturan transportasi, pihak yang akan tertekan nantinya adalah pengemudi atau pemilik mobil.
Kecuali, Uber atau Grab mau mengeluarkan investasi untuk membangun pool, membayar uji KIR, dan sejumlah regulatory cost lainnya bagi mitranya. Suasana makin tak kondusif bagi mitra Uber dan lainnya jika nantinya skema pentarifan harus mengikuti aturan dari regulator transportasi. (
Baca juga:
Jalan berliku bagi Ridesharing)
Harga murah adalah senjata pemikat utama dari ridesharing bagi konsumennya. Jika semua itu hilang atau mendekati tarif konvensional, masihkah ada daya saing? (
Baca juga:
Kepastian aturan bagi Ridesharing)
Seandainya pemerintah meniru pola pemerintah Tiongkok atau Filipina yang beradaptasi dengan bisnis ridesharing yakni membuat regulasi komrephensif, tentunya masalah menjadi lebih tuntas dan bom waktu potensi konflik horizontal tak terus dipelihara. Bukankah Nawacita itu semua masyarakat merasakan kehadiran negara?
@IndoTelko