telkomsel halo

Cerita basi registrasi prabayar

14:30:45 | 22 Okt 2017
Cerita basi registrasi prabayar
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akhirnya merilis kebijakan baru untuk registrasi kartu prabayar yang mensyaratkan validasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Kependudukan mulai tanggal 31 Oktober 2017.

Penetapan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, yang terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 14 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Peraturan Menkominfo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. (Baca: Kartu Prabayar)

Mendapatkan data pelanggan berkualitas dan berharap menjadi awal national single identity adalah tujuan akhir dari kebijakan ini.

Dalam catatan, pemerintah sudah beberapa kali berupaya melakukan pendataan pelanggan seluler. Pada 2005 lalu. Kala itu dengan 58 juta nomor prabayar beredar, sekitar 9,34% nomor dihanguskan karena data dianggap tidak valid.

Kali ini dengan jumlah beredar 350 juta nomor, pemerintah berharap proses registrasi bisa menghasilkan data yang valid.

Potensi Gagal
Banyak kalangan beranggapan pola registrasi mutakhir ini tak menjadi jaminan akan menghasilkan data pelanggan yang valid.

Pertama, dari sisi hukum. Banyak kalangan mempertanyakan tentang kerahasiaan dari data yang telah dikumpulkan. Hal ini mengingat Indonesia belum memiliki Undang-undang Data Pribadi.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai perlindungan jaminan kerahasiaan data pribadi ini mestinya bisa mengatur soal teknis data mana saja yang boleh diakses, oleh siapa, dan dikumpulkan dengan cara seperti apa.

Padahal Indonesia saat ini memiliki 32 undang-undang yang materinya mengandung data pribadi warga negara. Lingkup aturan itu baik dari sektor telekomunikasi, keuangan, perpajakan, hingga penegakan hukum, dan keamanan. Sayangnya, kebanyakan aturan itu isinya mengatur kewenangan dalam pengumpulan dan pengelolaan data pribadi warga negara.

Indonesia bersama dengan Brasil, Tiongkok, Mesir, Pakistan, Arab Saudi, Swiss dan Zimbabwe melakukan registrasi prabayar. Negara-negara ini bersama dengan 31 negara lain di dunia yang belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi .

Kedua, isu teknis. Format registrasi untuk masing-masing operator berbeda alias tak seragam. Untuk Tri, Smartfren, dan Indosat: NIK#NKK. XL: DAFTAR#NIK#NKK. Telkomsel: REG#NIK#NKK.

Berbedanya format menimbulkan ketidakpastian bagi pelanggan sehingga muncul kabar registrasi membutuhkan super password yakni nama ibu kandung. Ditambah dengan "leletnya" Kominfo mengklarifikasi isu super password ini, menjadikan makin banyak pihak antipati dengan registrasi prabayar.

Masih dari  isu teknis, tidak adanya batasan yang jelas bagi operator untuk melakukan validasi jika data belum valid juga menjadi tanda tanya banyak pihak. Hal ini berlaku jika pelanggan belum bisa mencantumkan NIK dan KK, nomor bisa diaktifkan. Pegangan hanya pada surat pernyataan dari pelanggan. Kalau begini, bagaimana penghargaan dengan mereka yang sudah rela memberikan data?

Terakhir, kewajiban bagi pelanggan lama untuk harus ikut registrasi ulang menimbulkan tanda tanya, bagaimana nasib data yang ada selama ini di operator? Bukankah operator memiliki profiling dari pelanggan jika satu nomor aktif terus bertahun-tahun? Meminta pelanggan lama untuk registrasi ulang seperti menafikan pengorbanan dari pelanggan selama ini tentunya.

Ketiga, isu bisnis. Ini merupakan tantangan terberat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebenarnya industri seluler di Indonesia memasuki titik jenuh di sisi pertumbuhan pelanggan.

Lantas dari mana munculnya pertumbuhan pelanggan yang masih di atas rata-rata negara Asia lainnya?

Pertumbuhan muncul dari kelompok pencari bonus alias swing voter. Tipikal pelanggan ini adalah selalu mencari penawaran yang menarik, sementara satu nomor utama tetap dipegang.

Operator pun menikmati kondisi ini sebagai growth strory bagi investor. Pemegang saham pun sepertinya bisa memaklumi kondisi ini. Buktinya, praktik ini sudah ada sejak 10 tahun belakangan ini.

Lantas benarkah tidak ada pasar baru di Indonesia? Tentu ada, tetapi itu di daerah luar Jawa atau kawasan pedesaan yang membutuhkan investasi tinggi.

Kembali ke selera investor, butuh biaya kecil tetapi return tinggi. Kesimpulannya, tentu bertarung di kota dengan berebut kelompok swing voter adalah pilihan realistis.

Parahnya, tabiat operator yang seperti ini masih dimaklumi pemerintah jika melihat celah dimana validasi tak berbatas seperti paparan diatas yang hanya berpegang pada surat pernyataan.

Kalau begini, jangan salahkan registrasi pelanggan hanya menjadi cerita basi di masa depan.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year
Financial Analysis
Mitratel tuntaskan akusisi UMT