Registrasi kartu prabayar yang mensyaratkan validasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Kependudukan akhirnya dimulai tanggal 31 Oktober 2017.
Penetapan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi, yang terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 14 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Peraturan Menkominfo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. (
Baca:
Kartu Prabayar)
Mendapatkan data pelanggan berkualitas dan berharap menjadi awal national single identity adalah tujuan akhir dari kebijakan ini.
Seperti diprediksi sebelumnya, kebijakan registrasi prabayar dengan NIK ini akhirnya menimbulkan polemik di masyarakat.
Sempat beredar berbagai informasi simpang siur di masyarakat tentang tujuan dari registrasi prabayar ini.
Mulai dari rumor tentang keinginan pemerintah ingin mengawasi secara ketat pengguna seluler, hingga rentannya data diperjualbelikan pasca registrasi dilakukan.
Munculnya sangkarut sebenarnya sudah banyak diprediksi kalangan praktisi seluler karena melihat pola sosialisasi dari Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta operator seluler terlihat tidak jelas pesan yang ingin disampaikan ke masyarakat.
Masyarakat menjadi panik jelang 31 Oktober hingga 1 NOvember 2017 karena berfikir jika tak melakukan registrasi maka kartu akan diblokir.
Alhasil, berbondong-bondonglah pengguna melakukan registrasi dalam dua hari itu sehingga tak salah jika ada sekitar 30 jutaan nomor melakukan registrasi.
Dampaknya, tentu saja jaringan yang dimiliki operator menjadi tak sanggup menahan lonjakan trafik yang tiba-tiba sehingga banyak yang mengalami gagal registrasi.
Andai pesan yang disampaikan "clear" ke masyarakat, bahwa registrasi baru Nomor Perdana dimulai 31 Oktober 2017, sedangkan untuk registrasi ulang pelanggan lama dimulai 31 Oktober 2017, dengan batas akhir tervalidasi pada 28 Februari 2018, tentunya kepanikan tak terjadi di masyarakat.
Menyadari sosialisasi tak maksimal, baru pada 1 November 2017 Kominfo mengumpulkan semua eksekutif operator dan menggelar konferensi pers bersama untuk menangkal hoax yang bertebaran melalui media sosial.
Masalahnya, benarkah pertanyaan yang muncul melalui media sosial itu Hoax semua? Sepertinya tidak!
Pertanyaan tentang mengapa harus sampai NIK dibutuhkan rasanya hal yang wajar dari masyarakat, karena di NIK dan Kartu Kependudukan, semua data penting hingga "super password" yakni ibu kandung ada di dokumen itu.
Tentunya wajar masyarakat bertanya kritis mempertanyakan keamanan data hingga penggunaannya.
Sayangnya, Kominfo dalam "membantah" informasi yang beredar terkesan menganggap "remeh" dan berpandangan mereka yang mencoba kritis terhadap kebijakan registrasi ini sebagai kelompok yang suka menebar hoax, hingga kelompok "Mama Minta Pulsa".
Alih-alih mendapat kejelasan secara akademik, perdebatan pun terus berlanjut di ruang publik.
Hal menarik lainnya adalah pasca sudah ada kejelasan tentang batas waktu terkait periode registrasi.
Jika dalam dua hari dengan kepanikan di masyarakat ada 30 juta nomor yang melakukan pendaftaran, setelah mendapat kejelasan, jumlah yang diregistrasi tak ngebut lagi. Data terakhir baru di kisaran 40 juta nomor.
Pertanyaan kritisnya, apakah nomor yang terdaftar dalam dua hari 30 juta nomor adalah dominan pelanggan lama atau jangan-jangan banyak kartu baru? (
Baca: Registrasi Prabayar)
Kemungkinan ini bisa saja terjadi mengingat pedagang yang memegang kartu perdana baru khawatir dengan pembatasan penggunaan NIK untuk tiga nomor pertama, sehingga memilih "berjudi" dengan mengaktivasi dulu kartu sebelum 31 Oktober.
Soalnya, kartu Perdana saat ini bagi pedagang merupakan komoditas penghasil keuntungan terbesar dibandingkan produk selular lainnya. Contoh produk turunan dari Kartu Perdana adalah Kartu Internet dan nomor cantik. Bahkan kartu internet saat ini menjadi tren bisnis di bidang selular.
Misalnya, saat ini ada 800 ribu outlet yang berjualan produk seluler. Jika tiap outlet kira-kira memiliki stok kartu perdana 100 buah, maka paling tidak ada 80 juta kartu perdana, baik segel maupun aktif, terancam tidak terjual.
Kenyataan di atas harus disadari Kominfo bersama operator dan wajib mencari jalan keluar terbaik bagi pedagang yang dominan dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Memaksakan aktivasi kartu keempat harus ke gerai resmi sepertinya tak ideal dengan kondisi geografi seperti di Indonesia. Hal lain yang harus diperhatikan adalah dampaknya ke kinerja operator dalam satu hingga dua tahun kedepan.
Jika registrasi terlalu ketat, dipastikan pertumbuhan seluler nasional tertekan sekitar 3%-4% dalam satu hingga dua tahun mendatang, sesuatu yang kontradiktif ditengah keinginan pemerintah menggenjot dunia usaha untuk terus bertumbuh.
@IndoTelko