telkomsel halo

Revisi PP PSTE kabarnya sudah disetujui, Asosiasi: Jokowi tidak konsisten!

13:20:58 | 17 Okt 2019
Revisi PP PSTE kabarnya sudah disetujui, Asosiasi: Jokowi tidak konsisten!
Ketua Umum MASTEL Kristiono bersama sejumlah perwakilan asosiasi kala menolak draft revisi PP PSTE tahun lalu.(dok)
JAKARTA (IndoTelko) – Kabar revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat gundah dan kecewa sejumlah asosiasi teknologi informasi.

Asosiasi yang terdiri dari Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (ASPILUKI), Indonesia ICT Institute, dan Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), menyampaikan kegundahannya atas tetap disahkannya draft revisi PP PSTE yang merugikan anak bangsa itu dalam siaran pers Kamis (17/10).

"Kami perlu menyampaikan tanggapan atas draft revisi Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 (PP PSTE), versi dokumen tanggal 2 Agustus 2019 yang diperoleh dari PPID Kementerian Komunikasi dan Informatika," kata juru bicara sejumlah asosiasi itu, Alex Budiyanto yang juga menjadi Ketua Umum ACCI.

Menurut sejumlah asosiasi, isi draft revisi PP 82/2012 sangat kontradiktif dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh Jokowi dalam berbagai pidato kenegaraan/kepresidenan, yaitu pada:
1. Pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2019, yang mana Presiden menyampaikan
bahwa data termasuk jenis kekayaan baru, yang kini data lebih berharga dari minyak. "Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber, termasuk kejahatan penyalahgunaan data. Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak, karena itu kedaulatan data harus diwujudkan hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan tidak boleh ada kompromi".

2. Pidato Sambutan dalam Peresmian Palapa Ring tanggal 14 Oktober 2019, Presiden Jokowi meminta jajarannya berhati-hati dalam menyikapi sisi negatif dari era digital. Karena kehadiran teknologi digital bisa dimanfaatkan negara lain untuk mengintip seberapa besar peluang bisnis di Indonesia. Presiden juga mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati karena saat ini aplikasi yang berasal dari negara lain diam-diam telah mengumpulkan data dari masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui perilaku masyarakat Indonesia sebagai pasar/konsumen bagi produk-produk dari negara lain. Presiden dengan tegas menyatakan: "Jangan sampai data kita, selera konsumen, selera pasar diketahui oleh negara lain, sehingga mereka bisa menggerojoki kita dengan produk-produk sesuai selera yang kita inginkan. Hati-hati dengan ini" tegas Presiden.

“Kami bukan anti perubahan, karena perubahan lah yg membawa kemajuan. Substansi perubahan yang di awal sudah diketahui akan memberikan dampak negatif secara jangka panjang dan skala lebih besar lah yang sebaiknya kita hindari. Semoga dapat dikaji dahulu dari perspektif dan kepentingan lebih besar sebelum diputuskan, yang kami tidak rasakan dalam proses revisi PP82 kali ini," jelas  Ketua Umum ASPILUKI Djarot Subiantoro.

Sejumlah Asosiasi ini pun membongkar kontradiksi isi Draft Revisi PP 82/2012 dengan Perintah Presiden untuk melindungi data masyarakat Indonesia terletak pada Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi:
“Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dapat mengelola, memproses dan/atau menyimpan Sistem Elektronik dan Data Elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia.”

"Dengan bunyi ayat di atas, maka yang akan terjadi adalah negara tidak akan dapat melindungi “data kita” (data masyarakat Indonesia) karena Pemerintah memberikan lampu hijau kepada Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dan aplikasi-aplikasi yang berasal dari negara lain untuk bisa menyimpan data di luar wilayah Indonesia, dan itu berarti isi Revisi PP 82/2012 sangat bertentangan dengan arahan Presiden," kata Alex.

Kajian dari sejumlah asosiasi ini menyatakan implikasi lain dengan mengijinkan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat untuk memproses dan menyimpan data di luar wilayah Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Ada potensi 90% data di Indonesia akan lari ke luar wilayah Indonesia, ini akan berimplikasi besar dari aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM Indonesia di era ekonomi data, mengingat sampai saat ini Indonesia belum mempunyai aturan perlindungan data yang memadai. Ini adalah sebuah kemunduran besar bagi negara Indonesia, disaat negara maju menerapkan perlindungan data di negaranya secara ketat seperti Uni Eropa lewat aturan EU GDPR, kita malah melakukan relaksasi tanpa perlindungan sama sekali.

2. Dengan memperbolehkan data Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat memproses dan menyimpan data diluar wilayah Indonesia, maka penyedia layanan pusat data (data center), cloud computing, OTT (Over The TOP) asing tidak lagi berkewajiban melakukan investasi di Indonesia karena mereka sudah bisa melayani masyarakat Indonesia diluar wilayah Indonesia, dan ini sangat merugikan secara ekonomi.

3. Penegakan hukum akan mengalami kesulitan manakala proses penegakan hukum tersebut membutuhkan data yang tersimpan di luar wilayah Indonesia, karena masing- masing negara mempunyai aturan dan yuridiksinya masing-masing.

"Dengan berbagai alasan diatas, kami berharap Presiden Jokowi benar-benar bisa mewujudkan apa yang telah disampaikannya dalam sebuah pidato kenegaraan yang disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kami berharap Presiden tidak mengesahkan revisi PP PSTE sebelum diperbaiki sesuai dengan apa yang telah beliau janjikan kepada seluruh rakyatnya. Kami menunggu implementasi dari janji Presiden Jokowi untuk segera mewujudkan kedaulatan data tanpa kompromi," katanya.

Sementara Ketua Umum MASTEL Kristiono meminta revisi PP 82/2012 seharusnya bukan melemahkan posisi indonesia namun harus mampu menguatkan dan meneguhkan kedaulatan negara dalam melindungi semua jenis data yang dimiliki bangsa dan rakyat Indonesia karena data adalah the new oil. "Ketiadaan regulasi dan kebijakan yang dapat melindungi kekayaan nasional dimaksud berakibat terlepasnya kesempatan kita membangun kekuatan dan kedaulatan digital ekonomi Indonesia," tegasnya.

Kedaulatan Data
Selanjutnya, Ketua Umum IDPRO Hendra Suryakusuma mengingatkan isu utama di PP-82 adalah masalah kedaulatan data, penegakan hukum, dan sekaligus jalan masuk persamaan perlakuan dalam pajak.

"Isu ini mestinya pemerintah lah yang lebih concern menjaganya. Ini kebalik, asosiasi dan komunitas yang malah concern dan berulangkali mengingatkan Pemerintah. IDPRO mendesak Pemerintah menunda pengesahan draft tersebut karena mayoritas komunitas TIK di Indonesia belum sepakat dengan draft isi tersebut, Isi revisi masih banyak yang perlu diperbaiki karena sebenarnya revisi PP 82/2012 bisa menjadi jalan masuk untuk memperbaiki ekosistem ekonomi digital di Indonesia," tegasnya.

Ketua Umum FTII Andi Budimansyah menilai revisi PPPSTE justru menutup kesempatan bagi warga negaranya untuk mendapatkan perlindungan data. "Kedaulatan negara sangat dipertaruhkan apabila revisi PP 82/2012 diundangkan tanpa kita memiliki regulasi perlindungan data yang memadai," ingatnya.

Ketua Umum APJII mengingatkan, di saat negara maju sangat ketat melindungi data negaranya untuk tetap di wilayahnya seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa lewat EU GDPR, Indonesia malah membuat aturan yang bertolak belakang.

GCG BUMN
"Kami menyampaikan masukan yang bertujuan untuk dapat mempertahankan Kedaulatan Digital Bangsa dan memastikan bahwa Ekonomi Digital yg tumbuh dapat dinikmati bangsa kita sendiri, bukan untuk sebagian besar dimanfaatkan bangsa lain seperti yg terjadi sekarang ini. Rencana revisi PP 82/2012 ini, selain merugikan dari sisi ekonomi nasional, tentu juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi penegakan kedaulatan negara dan penegakan hukum. Mohon dengan sangat perhatikanlah masukan kami sebagai rakyat digital Indonesia,” katanya.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year