Tiga raksasa eCommerce yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah mengumumkan kinerja keuangannya untuk tahun 2022.
Ketiganya adalah Bukalapak, Blibli, dan GoTo. PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) berhasil membukukan laba bersih Rp1,983 triliun sepanjang 2022 berbanding terbalik dengan 2021 yang rugi Rp1,672 triliun.
Pendapatan bersih naik 93,5% menjadi Rp3,618 triliun yakni ditopang peningkatan pendapatan mitra sebesar 157% menjadi Rp1,966 triliun.
Selain itu, pendapatan dari marketplace terangkat 53,3% menjadi Rp1,518 triliun. Sementara pendapatan dari Buka Pengadaan yang terkerek 16,6% menjadi Rp133,43 miliar.Beban pokok pendapatan bengkak 480 persen menjadi Rp2,559 triliun. Beban umum dan administrasi naik 75,2 persen menjadi Rp2,544 triliun. Namun, beban penjualan dan pemasaran dapat dipangkas 37,3 persen menjadi Rp1,027 triliun.
Keuntungan Bukalapak datang dari laba investasi berupa saham di bursa yang belum direalisasikan Rp3,935 triliun. Disamping itu, perseroan mendapat bunga deposito bank dan obligasi pemerintah sebesar Rp541,04 miliar, atau naik 139 persen dibanding tahun 2021 yang tercatat hanya Rp226,6 miliar.
Bukalapak membukukan adjusted Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) sebesar -Rp 235 miliar pada kuartal IV 2022. Di mana rasio adjusted EBITDA terhadap TPV menunjukkan peningkatan dari -1,1% di kuartal IV 2022 menjadi -0,6% di kuartal empat 2022.
Bukalapak membukukan laba operasional sebesar Rp 1,76 triliun pada akhir 2022 atau mengalami peningkatan sebesar 203% dari rugi operasional sebesar Rp 1,70 triliun. Hal itu terutama disebabkan oleh laba nilai investasi marked-to-market dari PT Allo Bank Tbk.
Sementara PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) atau Blibli mengalami kerugian Rp5,5 triliun sepanjang 2022 naik dibandingkan periode sama 2021 sebesar Rp3,3 triliun.
eCommerce yang terafiliasi dengan Grup Djarum ini memiliki pendapatan bersih konsolidasi naik 72% dari Rp8,9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 15,3 triliun pada tahun 2022.
Blibli fokus pada empat segmen bisnis dalam operasionalnya yaitu segmen ritel 1P, ritel 3P, Institusi dan toko fisik.
Segmen ritel 1P menjadi generator pendapatan bersih terbesar bisnis Blibli. Segmen ritel 1P merupakan model bisnis B2C dan bermitra dengan layanan pihak pertama. Dari segmen ini, Blibli membukukan Rp8,9 triliun pada tahun 2022, naik 32% dari tahun 2021.
Dari ritel 3P yang merupakan layanan oleh penjual pihak ketiga dan platform online travel agent, Blibli meraup pendapatan bersih sebesar Rp199 miliar pada tahun 2022, 63% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan dari segmen institusi, pendapatan bertumbuh 137% year-on-year (y.o.y) menjadi Rp2,6 triliun. Yang terakhir adalah, segmen toko fisik yang melonjak drastis sebesar 298% y.o.y dari Rp892 miliar menjadi Rp3,5 triliun pada tahun 2022.
Pencapaian tersebut didukung dari masifnya ekspansi gerai fisik consumer electronics yang dilakukan Blibli sepanjang tahun 2022, termasuk pengonsolidasian anak usahanya PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC) yang merupakan operator supermarket premium, seperti Ranch Market dan Farmers Market.
Persentase EBITDA konsolidasi terhadap TPV Blibli bergerak dari -10,4% pada FY21 menjadi -7,8% pada FY22, meningkat sebesar 260 bps y.o.y.
Blibli menyebutkan perbaikan tersebut didorong oleh kinerja operasional yang lebih baik seperti penurunan persentase beban iklan & pemasaran terhadap TPV dari 3,6% pada tahun 2021 menjadi 2,8% pada tahun 2022.
Nilai beban umum dan administrasi, yang sebagian besar terdiri dari gaji, tunjangan, pengembangan, dan imbalan kerja, jika dibandingkan TPV juga mengalami perbaikan dari 7,8% di tahun 2021 menjadi 5,5% di tahun 2022. Sebagai catatan, Blibli juga berkomitmen tidak melakukan pengurangan pegawai di tengah tren PHK yang dilakukan perusahaan sejenis.
Blibli mencatatkan penurunan aset sebesar 23,45% per 31 Desember 2022 menjadi Rp 14,07 triliun. Sebelumnya, per 31 Desember 2021, aset Blibli sebesar Rp 18,38 triliun.
Penurunan aset, salah satunya dikarenakan penurunan aset investasi sebesar 59,78% dari Rp 4,81 triliun menjadi Rp 1,97 triliun. Itu disebabkan karena adanya penjualan seluruh aset investasi pada saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO).
Adapun dalam laporan keuangan 2022 BELI dijelaskan bahwa pada 7 Maret 2018, Blibli melakukan penyetoran modal di PT Aplikasi Karya Anak Bangsa yang sekarang berganti nama menjadi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk sebesar Rp 1,37 triliun. Menurut manajemen BELI, investasi tersebut dicatat dengan menggunakan nilai wajar GOTO.
Namun kemudian pada Desember 2022, Blibli melakukan penjualan atas seluruh investasi saham di GOTO dengan total nilai penjualan dikurangi beban lainnya sebesar Rp 776,87 miliar. Blibli mencatat akumulasi rugi nilai wajar yang sudah direalisasikan atas investasinya di GOTO sebesar Rp 594,39 miliar.
Terakhir, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) mencetak rugi bersih sebesar Rp 40,4 triliun sepanjang 2022 atau membengkak 55,98% secara tahunan dari 2021 sebesar Rp 25,9 triliun.
Pendapatan bersih GOTO yang mampu melesat 120% secara tahunan atau year on year (YoY) menjadi Rp 11,3 triliun di 2022 dibanding 2021 Rp 5,2 triliun tak mampu menutup kerugian yang diraihnya.
Pembengkakan kerugian tersebut disebabkan oleh beberapa aspek non kas hingga peristiwa yang hanya terjadi satu kali, yang tidak mencerminkan kinerja bisnis inti GOTO. Aspek-aspek tersebut mencakup penurunan nilai goodwill sebesar Rp 11 triliun terkait dengan penggabungan Gojek dan Tokopedia, investasi di JD, serta peningkatan beban kompensasi berbasis saham.
Jika mengesampingkan beban tersebut, rugi bersih kuartal IV-2022 GOTO sekitar Rp 6,5 triliun atau membaik 36% secara tahunan. Jika dibandingkan secara kuartalan, capain itu tumbuh 3%.
Nilai goodwill yang dibukukan GOTO merupakan hasil dari bergabungnya Gojek dan Tokopedia pada 2021. Hasil dari penggabungan tersebut menghasilkan selisih angka yang mencerminkan nilai wajar dan nilai pasar perusahaan pada saat itu.
Pertumbuhan kinerja GOTO tercermin pada lonjakan gross transaction value (GTV), baik secara konsolidasi maupun di setiap lini usaha. Peningkatan GTV sebesar 33% menjadi Rp613 triliun menghasilkan kenaikan pendapatan bruto sebesar 35% menjadi Rp 22,93 triliun.
GOTO mencatat adjusted EBITDA atau EBITDA yang disesuaikan sebesar minus Rp3,21 triliun pada kuartal IV-2022. Adjusted EBIDTA meningkat 52% menjadi minus Rp 3,2 triliun dari sebelumnya minus Rp 6,5 triliun.
EBITDA merupakan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi. Yang membedakan dengan EBITDA konvensional, di dalam adjusted EBITDA mengecualikan berbagai beban dan pendapatan non-kas dan sewaktu (one-off).
GOTO mencatatkan nilai transaksi bruto atau gross transaction value sebesar Rp 613 triliun pada 2022 atau tumbuh 33% secara yoy. Dari GTV tersebut, GOTO meraih pendapatan bruto sebesar Rp22,9 triliun atau tumbuh 35% secara yoy. Setelah dikurangi beban promosi kepada pelanggan, pendapatan bersih GOTO mencapai Rp11,3 triliun, meningkat 120% secara yoy.
Dari situs resmi GOTO terungkap bahwa startup terbesar di Indonesia telah memiliki 2,67 juta mitra pengemudi, 15,1 juta mitra pedagang, dan 64 juta pengguna bertransaksi tahunan. Ekosistem GOTO juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang tercermin dari 2,7 miliar pesanan sepanjang 2022 atau rata-rata 7,5 juta pesanan setiap harinya. Nilai transaksi bruto per harinya mencapai Rp1,6 triliun.
Di tengah tekanan kerugian, pemegang saham yang terafiliasi dengan perusahaan investasi Softbank, SVF GT Subco, melepas kepemilikan sahamnya secara signifikan di GoTo.
SVF GT Subco yang berbasis di Singapura tercatat menggenggam saham GOTO sebesar 8,71%. Mengutip data terbaru Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), kepemilikan SVF GT di GOTO saat ini bersisa 92,29 miliar (7,79%) saham.
SVF melepas sahamnya pada akhir Maret lalu, dengan total yang dilego telah mencapai 10,83 miliar saham. Jika asumsi rata-rata minimum penjualan dilakukan di harga Rp 100/saham, jumlah dana yang diperoleh dari pelepasan saham GOTO mencapai Rp 1 triliun lebih. Sebagai catatan, harga saham GOTO tidak pernah ditutup di bawah Rp 100/saham sejak tanggal 13 Januari tahun ini.
Minusnya bottom line GoTo juga berdampak ke Telkom yang mencatatkan kerugian investasi belum direalisasikan senilai Rp 6,44 triliun dalam laporan keuangan 2022.
Secara spesifik, kerugian ini sebagian besar terakumulasi dari penurunan signifikan nilai investasi di GoTo. Per tanggal 31 Desember 2022, Telkomsel menilai nilai wajar investasi di GOTO dengan menggunakan nilai pasar saham GOTO sebesar Rp 91 per saham.
Namun, Telkom masih sabar dengan saham GoTo yang digenggamnya, karena ternyata meraih pendapatan Rp 1,4 triliun dari sinergi bisnis antara Telkomsel dengan GoTo, salah satunya dari pembelian pulsa sepanjang 2022.
Melihat kinerja dari pemain eCommerce yang masih jauh dari hasil positif, sepertinya industri ini mulai menurun dari puncak kejayaannya. Pola meningkatkan valuasi perusahaan dan menjanjikan prospek bisnis masa depan sepertinya harus mulai diubah jika masih ingin mendapatkan kepercayaan investor.
Orientasi ke profitabilitas dan efisiensi biaya operasional sepertinya harus menjadi prioritas pemain eCommerce ke depannya jika masih ingin bertahan kedepannya.
@IndoTelko