telkomsel halo

Tarik-menarik revisi aturan main bagi eCommerce

04:45:00 | 27 Aug 2023
Tarik-menarik revisi aturan main bagi eCommerce
Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah melakukan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).

Sesuai arahan Presiden, terdapat tiga hal penting yang ingin dicapai dalam revisi Permendag tersebut yaitu perlindungan konsumen, perlindungan produk dalam negeri, UMKM, serta perlindungan kepada platform lokal.

Kemendag mengungkapkan saat ini rancangan beleid itu masih dalam proses harmonisasi antar kementerian/lembaga (K/L).

Revisi ini diperlukan agar bisnis pelaku Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) tak terganggu perubahan lanskap di eCommerce salah satunya adalah live shoping atau S-Commerce.

TikTok dikenal sebagai platform yang banyak mendorong live shopping, bahkan muncul Project S TikTok Shop yang bikin ketar-ketir pemerintah karena dianggap bisa mematikan UMKM lokal.

Project S TikTok Shop dicurigai menjadi cara perusahaan asal Tiongkok itu mengoleksi data produk yang laris-manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China.

TikTok saat ini sedang didefinisikan sebagai socio-commerce bukan hanya sebagai media sosial, karena TikTok adalah platform yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagang (merchant) dapat mempromosikan penawaran barang dan/atau jasa sampai dengan melakukan transaksi.

Dalam kacamata pemerintah, dengan revisi aturan, industri dalam negeri akan terlindungi, termasuk eCommerce dalam negeri, UMKM, dan juga konsumen.

Pasalnya, dengan revisi ini harga produk impor dipastikan tak akan memukul harga milik UMKM. Permendag 50 ini diperlukan sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce. Nantinya diperlukan aturan lebih detail mengenai pengaturan white labelling sehingga tidak merugikan UMKM di Indonesia

Pun kebijakan ini bisa membatasi produk-produk impor masuk ke pasar digital Tanah Air. Terlebih, produk asing yang dijajakan di TikTok Shop dan eCommerce lain juga sudah banyak diproduksi oleh industri dalam negeri. Sehingga, Indonesia tak perlu lagi mengimpor produk tersebut.

Jika tak segera direvisi, bukan tidak mungkin akan ada semakin banyak UMKM yang bisnisnya tutup. Karena berdasarkan Studi yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) tahun 2021 lalu, hanya 25% hijab yang diproduksi oleh pengusaha lokal. Sementara mayoritas 75% sudah dikuasai oleh produk impor. Padahal, masyarakat Indonesia menghabiskan US$ 6,9 miliar untuk membeli 1,02 miliar hijab setiap tahun.

Masih mengutip studi ini, porsi produk lokal yang berada di salah satu pasar terbesar di Indonesia, Tanah Abang, juga terus menurun sejak awal tahun 2000 dari 80% menjadi 50% tahun 2021.

Tarik-menarik
Salah satu hal yang menjadi sorotan banyak pihak di revisi aturan itu adalah pemerintah berencana akan melarang produk impor yang dijual di marketplace seperti, e-commerce dan social commerce di bawah US$100 atau setara Rp 1,5 juta.

Poin selanjutnya yang akan direvisi dalam baleid tersebut adalah terkait hybrid marketplace dan retail online yang tak boleh dilakukan, kecuali mengagregasi produk lokal yang dibuktikan dengan Nomor Induk Berusaha (NIB).

Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE) mengkritik rencana pemerintah melarang e-commerce menjual barang impor murah, yaitu US$100 atau sekitar Rp1,52 juta (kurs Rp15.296).

Menurut APLE, kebijakan itu bukan menguntungkan UMKM, tapi malah berpotensi melumpuhkan UMKM di dalam negeri. APLE menyebut ada empat ancaman yang akan merugikan Indonesia apabila kebijakan tersebut disahkan, yakni seperti malah jadi menyuburkan impor ilegal, UMKM RI terancam lumpuh, potensi aksi balas dendam negara lain, hingga ancaman PHK massal. Dan yang paling penting adalah UMKM-nya sendiri malah dirugikan.

Sementara Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) mengungkapkan negara berpotensi mengalami kerugian Rp 1,5 hingga Rp 2,5 triliun akibat larangan impor barang dengan nilai di bawah US$ 100.

MAKI menyatakan pengangkutan barang lewat pesawat udara (crossborder) ini adalah pendapatan umum (revenue generator) bagi negara dari sisi pajak, maka apabila pelarangan ini dilakukan potensi pendapatan negara dari pajak triliunan per tahun akan hilang sekitar Rp 1,5 hingga Rp 2,5 triliun.

Dijelaskan MAKI, tanpa proses resmi seperti crossborder barang akan melalui importasi yang sulit diawasi dan dikendalikan sehingga mendorong terjadinya penyelundupan. Padahal, sistem crossborder yang berbasis transportasi udara melibatkan ongkos logistik yang tinggi hingga US$ 10 per kilogram.

Biaya logistik crossborder yang mahal, menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual di eCommerce Indonesia, sehingga para pebisnis toko online mengakalinya dengan importasi lewat laut agar harga barang dari luar negeri tetap murah. Inilah yang mematikan bisnis UMKM dalam kacamata MAKI.

Melihat kencangnya penolakan, ada baiknya pemerintah lebih dalam menyerap aspirasi pemangku kepentingan yang terlibat. Pemerintah jangan terjebak dalam kebijakan populis tetapi justru merugikan pihak-pihak yang ingin dilindungi karena salah memotret masalah.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year