telkomsel halo

Timang-timang "karpet merah" untuk Starlink

05:00:00 | 24 Sep 2023
Timang-timang &quotkarpet merah" untuk Starlink
Langkah Starlink untuk memberikan akses internet secara langsung ke masyarakat Indonesia sepertinya sangat serius.

Perusahaan milik Elon Musk ini tak puas hanya berbisnis dengan Telkomsat sebagai penyedia backhaul untuk mendukung operasi anak usaha Telkom itu.

Starlink ingin layanan satelit Low Earth Orbit (LEO) miliknya bisa menjadi andalan akses internet bagi masyarakat Indonesia layaknya operator seluler selama ini.

Starlink akan beroperasi menggunakan frekuensi Ka Band dan Ku Band. Starlink dikabarkan bakal menggunakan pita 14.0 GHz - 14.5 GHz dan 10.7 GHz - 12.7 GHz untuk Ku-Band. Kemudian pita frekuensi 27.5 GHz-30 GHz dan 17.8 GHz - 19.3 GHz untuk Ka Band.

Pita frekuensi Ka adalah pita gelombang mikro dengan jangkauan antara 18 GHz 40 GHz. Pita frekuensi Ka uplink memiliki jangkauan frekuensi antara 27.5 GHz - 31 GHz dan pita frekuensi Ka downlink memiliki jangkauan frekuensi antara 18,3 GHz -18,8 GHz dan 19,7 GHz 20,2 GHz.

Keuntungan dari frekuensi ini adalah pemanfaatan antena berdiameter kecil sehingga dapat digunakan di mana pun, dan secara biaya juga lebih terjangkau. Ka Band juga dapat menekan latensi/keterlambatan data menjadi lebuh rendah, sehingga pengguna makin nyaman saat menggunakan layanan satelit dengan Ka Band.

Agar dapat berkomunikasi mengirimkan data antar satelit, Starlink menggunakan Inter Satellite Link (ISL) yang memanfaatkan sinar laser sebagai backbone di luar angkasa. Dengan ISL ini Starlink tak memerlukan gateway di wilayah Indonesia.

Saat ini Starlink menjadi pemain LEO dengan lebih dari 4.660 satelit telah diorbitkan dari 12.000 satelit yang direncanakan.

Hindari Regulasi
Starlink telah membuat entitas dengan nama perusahaan PT Starlink Services Indonesia untuk mendukung operasi di pasar ritel nantinya.

Perusahaan ini diplot Starlink beroperasi layaknya pemain over the top (OTT). Langkah ini sepertinya untuk menghindari kewajiban regulasi yang harus dijalankan operator penyedia internet di Indonesia.

Untuk diketahui, penyedia layanan internet di Indonesia yang berbasis satelit wajib memiliki lisensi internet service provider (ISP), network access point (NAP), dan operator Very Small Aperture Terminal (VSAT).

Sejumlah lisensi itu dapat dikantongi jika dipenuhi kewajiban membangun infrastruktur seperti stasiun bumi, Network Operation Center (NOC), hingga mengurus hak labuh untuk satelitnya.

Konsekuensi mengantongi lisensi adalah regulatory charges seperti Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, penyelenggaran telekomunikasi, hingga sumbangan Universal Service Obloigation (USO). Regulatory charges di Indonesia bisa berkontribusi 20% 25% dari total biaya operasional atau operating expenses (Opex) sebuah operator.

Starlink sepertinya memilih model bisnis OTT untuk ekspansi karena ingin menggenjot pendapatan dimana menjual layanan dengan harga terjangkau berbekal biaya operasi yang kecil.

Pada 2022, pendapatan Starlink sebesar US$1,4 miliar atau RpRp21,51 triliun. Angka ini masih kecil dibandingkan janji sang pemilik, Elon Musk, ke investor yang dipatok mencapai US$12 miliar pada 2015.

Pada 2015, Elon Musk menyebut Starlink akan memperoleh laba operasional sebesar US$7 miliar pada 2022 dan akan menghasilkan pendapatan hampir US$12 miliar.

Starlink juga lebih lambat dalam mendaftarkan pelanggan dibandingkan perkiraan Musk, dimana ada sekitar satu juta pelanggan aktif pada akhir 2022, penurunan tajam dari target 20 juta pelanggan.

Jika pemerintah meloloskan Starlink sebagai pemain OTT walau secara de facto dan de jure adalah operator internet berbasis satelit, niscaya menimbulkan konflik diantara penyedia internet di Indonesia karena level permainan menjadi tak setara.

Starlink tentu akan menang secara biaya operasi karena penetrasi ke pasar lebih ringan mengingat sejumlah kewajiban regulasi tak dijalankan. Belum lagi keunggulan teknologinya untuk site acquisition dan mencari pelanggan yang tak memerlukan biaya tinggi layaknya pemain tradisional.

Sudah bisa dipastikan korbannya adalah penyedia jasa internet lokal dan secara industri makin tak sehat karena perang tarif menyeruak yang berujung kualitas layanan menurun. Akhirnya, masyarakat yang dirugikan karena tak mungkin juga kapasitas Starlink mampu melayani seluruh rakyat Indonesia.

Terlepas dari masalah bisnis, ada hal lain yang harus lebih serius harus diantisipasi jika Starlink diberikan "karpet merah" oleh regulator yakni negara menjadi kehilangan kontrol terhadap layanannya karena gateway dan NOC dari perusahaan yang menjadi bagian SpaceX itu tidak berada di teritori Indonesia.

Ini menjadikan negara tak memiliki kedaulatan hingga kewenangan untuk menjalankan kewajibannya terkait lawful intercept, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

Sebuah kerugian yang besar dibandingkan manfaat yang ditawarkan Starlink untuk layanan internet di Indonesia!

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year