Layanan 5G yang seperti berjalan di tempat sejak beberapa tahun belakangan sepertinya akan berubah.
Pemicunya adalah langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membuka lelang frekuensi 700 MHz dan 26 GHz dalam waktu dekat.
Saat ini, Kominfo sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penggunaan Spektrum Radio pada Pita Frekuensi 700 MHz dan 26 GHz.
Penggunaan spektrum frekuensi 700 MHz dan 26 GHz akan membuat kecepatan internet 5G Indonesia mendekati negara maju.
Sebelum dilakukannya lelang frekuensi 700 MHz dan 26 GHz, kominfo membuka konsultasi terkait penggunaan kedua spektrum tersebut.
Kominfo melakukan konsultasi publik atas Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio pada Pita Frekuensi Radio 700 MHz dan Pita Frekuensi Radio 26 GHz.
Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penggunaan Spektrum Radio pada Pita Frekuensi 700 MHz dan 26 GHz ini akan mengatur beberapa hal sebagai berikut:
Penetapan penggunaan pita frekuensi radio 700 MHz pada rentang 703 - 748 MHz berpasangan dengan 758 - 803 MHz dengan moda FDD dan pita frekuensi radio 26 GHz pada rentang 24,25 - 25,85 GHz dengan moda TDD untuk keperluan penyelenggaraan jaringan bergerak seluler.
Penetapan kebijakan yang memberikan kebebasan kepada pengguna pita frekuensi radio pita 700 MHz dan 26 GHz untuk memilih teknologi dalam lingkup IMT.
Potensi kewajiban tambahan bagi pemegang Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) pada pita frekuensi radio 700 MHz.
Kewajiban koordinasi pada pita 26 GHz untuk mitigasi potensi harmful interference dengan prosedur yang lebih sederhana yaitu sinkronisasi moda transmisi TDD, dan Kewajiban refarming apabila terjadi kondisi penetapan IPFR yang tidak berdampingan (non-contigous).
Sebagai informasi, pita frekuensi 700 MHz sebelumnya dipakai untuk penyiaran. Namun dengan seiringnya rampungnya analog switch off (ASO) telah menghasilkan digital dividen sebesar 112 MHz, di mana 90 MHz untuk keperluan layanan telekomunikasi.
Spektum yang disebut "frekuensi emas" ini memiliki kelebihan dalam memberikan coverage layanan seluler 4G maupun 5G yang lebih luas, sehingga sesuai untuk pemerataan akses internet kecepatan tinggi di daerah-daerah rural yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi.
Sedangkan pita frekuensi 26 GHz saat ini masih dalam kondisi idle, sehingga sudah dapat digunakan untuk layanan mobile broadband. Spektrum ini merupakan salah satu pita yang memiliki kapasitas yang sangat besar dan cocok dengan implementasi teknologi 5G dimana pada use case tertentu membutuhkan kecepatan internet yang sangat tinggi dengan latensi yang sangat rendah.
Belum diketahui kapan lelang frekuensi 700 MHz dan 26 GHz, namun berdasarkan informasi terakhir dari Kominfo bahwa seleksi kedua spektrum itu akan dilakukan satu paket atau berdekatan.
Sejauh ini pemain 5G seperti Telkomsel menggunakan spektrum frekuensi sebesar 72,5 MHz untuk uplink (upload), 72,5 MHz untuk downlink (download), dan 50 MHz untuk 5G NR. Total keseluruhan spektrum yang digunakan adalah 145 MHz+50 MHz.
Sementara itu, Indosat mengoperasikan 67,5 MHz untuk uplink dan 67,5 mHz untuk downlink. Total, spektrum yang dimanfaatkan oleh Indosat adalah 135 MHz, dengan frekuensi 2,1 GHz dan 1,8 GHz digunakan untuk 4G LTE dan 5G NR.
Adapun XL Axiata mengoperasikan 45 MHz untuk uplink dan 45 MHz untuk downlink, total ada 90 MHz, dengan pita frekuensi 1,9 GHz dan 2,1 GHz digunakan untuk 5G. Terakhir, Smartfren mengoperasikan 11 MHz untuk uplink dan 11 MHz untuk downlink di pita 800 MHz, dan 40 MHz di pita 2,3 GHz.
Insentif
Dibukanya lelang frekuensi tentu membuat operator bergairah untuk menggelar 5G. Tetapi dibalik itu ada rasa was-was juga karena Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi biasanya tetap mahal.
Saat ini untuk membayar frekuensi yang digunakan, operator harus keluar biaya sekiar 10% dari pendapatan kotor. BHP Frekuensi ini dicatat sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
PNBP dipungut oleh kominfo antara lain dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi Radio dan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi (BHP Telko). Dalam lima tahun terakhir, total nilai iuran PNBP sektor telko pada kisaran Rp 19-23,2 triliun per tahun dalam lima tahun terakhir. Pungutan BHP Telko besarnya 0,5% dari pendapatan kotor (gross revenue) masing-masing penyelenggara jasa telko.
Kominfo kabarnya tengah mengajukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku lebih fleksibel, tetapi masih menunggu persetujuan dari Presiden.
Sesuai tujuannya, pungutan BHP akan dikembalikan lagi ke sektor yang bersangkutan untuk keperluan pengembangan dan lainnya.
Penerimaan BHP sewajarnya seiring dengan pertumbuhan industrinya. Jadi, jika ingin setoran PNBP naik, pemerintah mesti memfasilitasi industri untuk tumbuh.
Sudah saatnya beban operator untuk ditinjau kembali untuk diturunkan. Infrastruktur komunikasi yang menjadi betul-betul platform utama tidak boleh jatuh. Kita perlu menjaga ketahanan infrastrukur telekomunikasi demi memajukan ekonomi digital.
@IndoTelko