Pemerintah mengambil langkah drastis pasca demonstrasi massa yang berakhir rusuh pada tanggal 21 Mei 2019 hingga 22 Mei 2019 di Jakarta dengan melakukan pembatasan akses informasi ke media sosial (Medsos).
Tak tanggung-tanggung, pembatasan akses ini langsung diumumkan Menkopolhukam Wiranto dalam breaking news yang disiarkan sejumlah televisi nasional (22/5) siang.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan Pemerintah melakukan pembatasan sementara dan bertahap sebagian akses platform media sosial dan pesan instan.
Hal itu ditujukan untuk membatasi penyebaran atau viralnya informasi hoaks yang berkaitan dengan Aksi Unjuk Rasa Damai berkaitan dengan pengumuman hasil Pemilihan Umum Serentak 2019.
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akhirnya mencabut pembatasan akses ke media sosial per Sabtu (25/5).
Sebelumnya, pemerintah pada tanggal 22 Mei 2019, sekitar pukul 13.00, melakukan pembatasan akses terhadap situs-situs media sosial seperti Facebook, Instagram (IG), dan Twitter, serta aplikasi perpesanan WhatsApp (WA).
Konsekuensi pembatasan itu, akan terjadi pelambatan akses, terutama untuk unggah dan unduh konten gambar dan video. Fitur yang dibatasi dan sementara tidak diaktifkan adalah fitur di media sosial facebook, instagram, dan twitter untuk gambar, foto dan video.
Pembatasan itu didasarkan pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 21 UU Telekomunikasi No 34 Tahun 1999 yang berbunyi Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Per Sabtu (25/5), Rudiantara membuka pembatasan akses antara jam 14.00 - 15.00 WIB (
Baca: Pembukaan Akses)
Teknologi
Secara teknologi pembatasan yang diinginkan pemerintah bisa dikerjakan dengan meminta Penyedia Jasa Internet (PJI/Operator) melakukan Bandwidth Throttling.
Bandwidth throttling adalah proses melambatkan kecepatan/bandwidth internet dengan sengaja. Bandwidth throttling dapat terjadi saat transfer data antar perangkat maupun antara perangkat dengan website di internet yang sedang dibuka.
Pilihan melakukan bandwidth throttling oleh operator biasanya saat lalu-lintas data sedang sangat padat, mengurangi jumlah data yang harus diproses dari tiap sumber dalam satu waktu, sehingga kemacetan lalu-lintas data dapat berkurang dan lalu-lintas data tetap lancar.
Operator juga kadang-kadang melakukan bandwidth throttling hanya terhadap lalu-lintas data ke atau dari sumber tertentu. Contohnya yang terjadi sejak (22/5) dimana akses ke keluarga besar Facebook dibatasi.
Biasanya pengguna akan "mengakali" bandwidth throttling dengan memasang Virtual Private Network (VPN) untuk mem-bypass pembatasan ini. VPN mampu menyembunyikan trafik yang sedang mengalir di sambungan internet.
Memasang VPN ini ada resiko bagi pengguna seperti rawan pencurian data, disusupi malware, terkena profiling, hingga baterai ponsel lebih boros.
Cara drastis melawan bandwidth throttling adalah jika pengguna melakukan flooding trafik dengan terus berusaha secara bersamaan menguggah file minimal sebesar 5 megabyte saja. Jika jaringan operator tak mampu menahan, bisa tumbang mengingat pengguna medsos sudah mencapai ratusan juta orang.
Dampak
Jika dilihat dari sisi ekonomi, dampak dari pembatasan akses ini ternyata lumayan besar.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan kerugian selama tiga hari pembatasan akses ke Medos sekitar Rp 681 miliar.
Kalkulasinya, sebanyak 66% transaksi jual beli online terjadi di platform media sosial seperti Instagram, Facebook dan Whatsapp. Hanya 16% transaksi lewat marketplace, berdasarkan riset Ideas 2017.
Nilai transaksi eCommerce berdasar riset Indef di 2019 diperkirakan US$8,7 miliar atau Rp 126 triliun. Dibagi 365 hari rata rata Rp 345 miliar per hari.
Alhasil, potensi kerugian jual beli online dengan membatasi akses ke medsos per hari adalah 66% dari 345 miliar yaitu Rp 227 miliar. Tiga hari blokir, kerugian pedagang Rp 681 miliar.
Sedangkan dari sisi hukum, berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena hak untuk berkomunikasi tidak bisa diabaikan.
Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyatakan internet adalah sumber potensial untuk pencerahan yang pernah ada. Semestinya pemerintah memikirkan internet sebagai infrastruktur dasar. (
Baca: Pembatasan Akses)
Sesuai dengan Undang - Undang Dasar 1945 pasal 28 F, berbunyi," Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Dampak sosialnya adalah pengguna yang tadinya tak tahu cara "mengakali" database trust positif milik pemerintah untuk situs-situs pornografi, terorisme, dan lainnya menjadi tak ada artinya karena bisa diterobos dengan VPN oleh masyarakat awam.
Efektifitas
Hal yang menjadi pertanyaan adalah, efektifkah langkah yang dilakukan pemerintah ini?
Internet Development Institute (ID Institute) menilai yang dilakukan pemerintah adalah "jalan mundur" dalam pengelolaan penapisan karena tak berhasil dari sisi literasi ke pengguna, malah membuat ruang siber di Indonesia menjadi kian "terbuka" dengan konten-konten negatif.
ID Institue melihat keputusan pemerintah seperti menekan balon, dimana di satu sisi ditekan, menggelembung di sisi lainnya yang berpotensi membuat balon meletus sehingga semua pihak dirugikan.
Merujuk hasil yang dikeluarkan mesin analisa media sosial Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia sepertinya aksi "tekan balon" ini memang tak efektif.
Drone Emprit mengungkapkan setelah dimulainya pembatasan akses ke medsos, tren percakapan tentang politik dan peristiwa kerusuhan tetap tinggi di Twitter, media online, Facebook, Instagram, maupun YouTube.
Secara umum tren menunjukkan bahwa tak tampak adanya pengurangan yang signifikan dalam total percakapan di keseluruhan kanal. Namun di kanal WhatsApp, terlihat penurunan yang signifikan. Setelah pembatasan dimulai. (
Baca: Hasil Pembatasan akses)
Evaluasi
Diharapkan, usai pembukaan pembatasan akses, pemerintah bisa memberikan evaluasi yang komprehensif terhadap keputusan yang diambilnya pada 22 Mei 2019.
Selain itu, pemerintah harus mulai lebih tegas ke pemilik platform seperti Facebook untuk tunduk ke Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
Penerapan bandwidth throttling lebih mengandalkan kemampuan dari operator untuk mengelola trafik, padahal yang sebenarnya diincar adalah konten tak beredar.
Sewajarnya tanggung jawab filterisasi dan take down konten ada di pemilik platform. (
Baca: Tanggung jawab platform)
Amanah dari UU ITE dan PP PSTE ini yang belum berjalan di pemilik platform, sehingga wajar momentum pembatasan akses beberapa waktu lalu menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk lebih berani menekan pemain seperti Facebook dan kawan-kawan agar tunduk kepada regulasi.
Menutup di sisi "keran" sudah terbukti tidak efektif dan banyak mudaratnya tak hanya bagi pemerintah tetapi juga masyarakat yang selama ini menggunakan Medsos untuk hal-hal positif.
Pepatah jika memang di lumbung padi ada beberapa tikus, tentu bukan lumbungnya yang dibakar, tetapi tikusnya dicari untuk dimatikan rasanya sebuah pemikiran logis yang harus dijalankan ke depannya oleh pemerintah sebagai solusi penanganan konten negatif di dunia maya agar reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi yang berazaskan hukum tetap terjaga.
@IndoTelko