Bisul itu akhirnya meledak juga. Inilah ungkapan yang tepat dalam melihat aksi Asosiasi Digital Indonesia (IDA) dan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) terhadap praktik intrusive advertising yang dilakukan oleh Telkomsel dan XL Axiata.
Kedua lembaga ini sepertinya tidak tahan lagi dengan pendekatan persuasif terhadap dua pemain besar di pasar seluler tersebut. Langkah membawa isu intrusive advertising ke ranah publik pun akhirnya ditempuh dengan mengeluarkan pernyataan resmi penolakan terhadap praktik itu awal pekan lalu.
Keluarnya pernyataan resmi ini seperti menegaskan adanya deadlock dari diskusi yang terjalin selama ini dari kedua lembaga dengan para operator, sehingga membawa masalah ini sebagai diskusi publik pun akhirnya ditempuh.
Sebenarnya, kedua organisasi ini sudah lama menyoroti praktik iklan sisipan (Intrusive Ads) yang dilakukan kedua operator itu. Praktik yang disorot adalah interstitial ads yang menampilkan iklan satu halaman penuh saat masuk ingin mengakses situs dan off-deck ads dimana iklan sisipan diletakkan di bagian atas situs yang akan diakses.
Praktik ini dianggap merugikan pemilik situs penayangan iklan dilakukan tanpa izin dan kerjasama dengan pemilik. Padahal pengguna mempersepsikan pemilik situs atau media online sebagai pihak yang menayangkan sehingga dianggap bertanggung jawab atas semua iklan tersebut.
Pertimbangan lain, beberapa kali didapati isi iklan yang kurang pantas dan tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Isi iklan juga dapat menimbulkan iklim persaingan yang tidak baik di mana iklan dari sebuah perusahaan dapat ditayangkan di situs milik kompetitor langsungnya.
Sedangkan dari segi hukum, praktik itu bertentangan dengan Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dari sisi periklanan hal ini juga diatur pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Praktik ini juga bisa dikategorikan hijacking atau hostile redirecting kerana operator mengarahkan pengguna ke alamat operator terlebih dahulu untuk menghasilkan pendapatan iklan atau keuntungan sepihak.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menegaskan domain dan IP yang ada di belakang situs merupakan milik publisher situs untuk memanfaatkannnya dengan tujuan sosial atau bisnis sekalipun.
Menurut APJII, siapa pun tidak memiliki hak untuk menyerobot tanpa permisi, atau memanfaatkannya hanya karena teknologi yang memungkinkan. APJII menganggap praktik ini sebagai sesuatu yang tidak etis dan mengarah ke kejahata
Didukung Regulator
Sekencang apapun penolakan, realita berkata lain. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) berada di belakang operator.
BRTI menilai iklan sisipan dari operator ketika pelanggan ingin mengakses situs tertentu tidak termasuk kategori pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Menurut lembaga ini tidak ada pelanggaran Pasal 32 UU ITE dari yang dilakukan operator karena praktik iklan sisipan hanya memberikan jeda waktu saja. Tidak ada sedikitpun isi dari situs yang dengan sengaja diubah.
Pendapat dari BRTI seperti sejalan dengan operator yang menganggap jaringan untuk mengakses situs milik mereka, sehingga wajar disisipkan konten pesanan. Bahkan, operator tidak menganggap layanan iklan itu sebagai penyebab koneksi lemot. Justru memberikan bonus kepada pelanggan agar tidak bosan menunggu proses loading yang lama.
Lantas siapa yang salah? Jika melihat argumen dari kedua belah pihak semua memiliki alasan yang kuat. Tetapi, marilah melihat kepada kepentingan pelanggan, karena elemen inilah yang menjadi obyek paling dirugikan.
Hal yang harus dipahami adalah perangkat yang digunakan pelanggan milik pribadi, tentunya jika operator ingin memberikan iklan sewajarnya memberikan pilihan kala menawarkan paket berlangganan data. Di luar negeri, pelanggan yang menjadi inventory dari mobile advertising dimanjakan oleh operatornya.
Di Indonesia, pelanggan dilihat sebagai basis inventory yang bisa dijual ke pengiklan tanpa menenggang kenyamanan dari penggunan.
Alhasil, jika operator bersikeras menjalankan intrusive ads, maka harus ada transparansi dengan pelanggan dan mulai membuka ruang diskusi dengan pemilik situs terkait pembagian hasil dari iklan yang terpasang.
Sedangkan dari sisi regulator, sudah saatnya untuk mulai berfikir membuat rambu-rambu yang lebih jelas terkait model bisnis dari layanan data ke depannya, karena ekosistem kian matang dan tak lagi berkutat hanya di masalah konektifitas.
@IndoTelko